Sabtu, 08 Januari 2011

PRANATA PERKAWINAN

1. PENDAHULUAN

Islam itu hanya satu dan berlaku bagi seluruh dunia dan sepanjang masa. Namun dalam penerapan hukum, terutama masalah perkawinan beragam sesuai dengan dimana hukum itu diberlakukan.
Di Indonesia sendiri ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia.
Dengan demikian, kami sebagai pemakalah bermaksud untuk menguraikan tentang perkawinan dalam Hukum Islam di Indonesia.

2. PEMBAHASAN
A. Pengertian
Istilah pranata dalam bahasa Inggris adalah Institution. Dalam bahasa Indonesia, pranata adalah norma-norma yang dijadikan pedoman dalam memenuhi kebutuhan spesifik manusia dalam bermasyarakat.
Istilah perkawinan menurut Islam disebut nikah atau ziwaj`. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam bahasa Indonesia ada perbedaan, sebab kata `nikah` berarti hubungan menyetubuhi istri, sedangkan `ziwaj` berarti kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami-istri untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah.
Dalam bahasa Indonesia “perkawinan” berasal dari kata `kawin`, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukah hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami.
Menurut bentuknya, Islam mewujudkan susunan keluarga sebagai suami-istri yang diridloi Allah melalui ikatan perjanjian (aqad) bernilai kesucian atau sakral rohaniah dan jasmaniah. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, disebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengn tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

B. Dasar-Dasar Pemikiran
Di dalam hukum Islam, ketentuan-ketentuan hukum keluarga mengatur mengenai pembentukan keluarga dan berakhir sampai adanya pemindahan hak milik karena putus hubungan hukum antara suami dan istri. Hal ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan yang merupakan masalah `munakahat` mengatur kegiatan individu dalam hubungannya dengan individu lain yang berbeda jenis kelamin untuk membentuk keluarga dalam wujud sebagai rumah tangga, termasuk mempunyai keturunan atau tidak, sampai terjadi peristiwa hukum kematian atau perceraian. Dan proses kegiatan itu dapat dilakukan oleh setiap orang yang memenuhi ketentuan-ketentuan hukumnya dengan membatasi kegiatan dan tingkah laku tersebut.
Selain itu, perkawinan dapat dilihat dari 3 segi pandang :
1. Dari segi Hukum
Di pandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian, seperti telah disebutkan dalam Q.S. An-Nisa [4] :21
          
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”
Telah dinyatakan bahwa “perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”.
Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:
a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu, artinya dengan akad nikah dan rukun atau syarat tertentu
b. Cara menguraikan atau memutuskan perkawinan juga telah diatur sebelumnya, yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fassakh, syiqaq dan sebagainya.
2. Dari Segi Sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin. Firman Allah Q.S. An-nisa [4] : 3
                              
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.’
Dari firman Allah tersebut di atas ditentukan bahwa orang boleh kawin lebih dari satu dan paling banyak empat dengan syarat harus berlaku adil terhadap semua istrinya, sedangkan kalau takut tidak dapat berlaku adil, sebaiknya kawin satu saja. Karena dengan hanya mengawini seorang saja, akan terhindarilah tindakan yang menyebabkan orang menderita.
3. Dari Segi Agama
Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagai firman Allah Q.S. At- Taubah [9] :1
         
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka).”

C. Lahirnya Undang-Undang Perkawinan
Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi golongan-golongan tertentu. Yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi warga bumiputra yang beragama Islam. Bagi mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang perkawinan, tidak ada undang-undang tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam pelaksanaan akad nikah perkawinannya.
Setelah Indonesia merdeka, usaha mendapatkan undang-undang tetap diupayakan. Pada akhir 1950 dengan surat Penetapan Menteri Agama RI Nomor B/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak Rujuk, yang diketuai oleh Mr. Teuku Moh. Hasan, tetapi panitia ini tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Maka dari itu, pada tanggal 1 April 1961 dibentuk sebuah panitia baru yang diketuai oleh Mr. Noer Persoetjipto.
Setelah mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang masuk panitia kerja, maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 itu diteruskan kepada sidang paripurna DPR RI tersebut semua fraksi mengemukakan pendapatnya. Pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
D. Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan
Pada tanggal 1 April 1975 diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan terdiri dari 49 pasal dan 10 bab. Pelaksanaan yang diatur dalam Peraturan ini terdapat dua bagian, yaitu pelaksanaan yang behubungan dengan pelaksanaan nikah yang menjadi tugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan pelaksanaan yang dilaksanakan oleh pengadilan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Peradilan Umum bagi warga negara yang non-muslim dan Peradilan Agama yang muslim.
1. Keterangan Umum
Dalam ketentuan umum peraturan ini dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan undang-undang adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan yang dimaksud dengan pengadilan adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum, sedangkan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama bagi pengadilan dalam Peradilan Agama. Yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian pada KUA kecamatan bagi umat Islam dan catatan sipil bagi non-muslim.
2. Pencatatan Perkawinan
Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan ruju`). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah :
a. Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Ruju` bagi orang beragama Islam (dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1974 jo. Undang-Undang Nomor Tahun 1954).
b. Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan yang bukan beragama Islam.
Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan di wilayahnya masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan ini dapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah satu kegunaan dari pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan konkret tentang data NTR.
3. Tata Cara Perkawinan dan Akta Perkawinan
Bagi seseorang yang bermaksud melangsungkan perkawinan terlebih dahulu memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat nikah. Pemberitahuan ini boleh dialakukan oleh orang tua atau walinya. Pegawai pencatat perkawinan setelah menerima laporan tersebut segera meneliti syarat-syarat perkawinan apakah telah terpenuhi atau belum, apakah ada halangan kawin menurut agama dan undang-undang, demikian surat-surat yang dijadikan syarat administrasisudah terpenuhi atau belum. Jika belum terpenuhi, maka pegawai pencatat perkawinan tersebut harus menolaknya.
Perkawinan harus dihadiri oleh saksi dan dihadiri pula oleh Pegawai Pencatat Nikah. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, akad nikahnya dilaksanakan oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Sessat sesudah akad berlangsung, maka kedua belah pihak mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, setelahnya diikuti pula oleh saksi-saksi, wali nikah, dan pegawai pencatat yang bertugas mencatat perkawinan tersebut. Dengan selesainya penandatanganan akta perkawinan tersebut, maka perkawinan yang telah dilaksanakan itu telah dianggap sah dan telah tercatat secara resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan adalah sebuah daftar besar yang memuat identitas kedua mempelai, orang tua atau walinya atau juga wakilnya.
Dalam buku akta nikah dimuat perjanjian ta`lik yang biasanya materi ta`lik talak itu diucapkan oleh mempelai pria sesaat akad nikah dilaksanakan. Perjanjian ta`lik talak ini mempunyai tujuan untuk melindungi kaum wanita (istri) dari perlakuan sewenang-wenang pihak suami. Apabila perjanjian ta`lik talak itu dilanngar oleh pihak suami, maka pihak istri diberi wewenang untuk menggugat cerai kepada Pengadilan Agama. Agar perjanjian ta`lik talak mempunyai dasar hukum kuat, maka setelah pihak pria mengucapkan ta`lik talak itu petugas pencatat pernikahan segera meminta tanda tangan mempelai pria untuk dibubuhkan pada lembar perjanjian ta`lik talak itu. Ta`lik talak yang tidak ada tanda tangan mempelai pria dianggap tidak sah dan karenanya dianggap tidak pernah mengucapkannya.
3. Tata Cara Perceraian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 38 menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai dasar perceraian terdapat dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Cerai gugat diajukan ke pengadilan oleh pihak istri, sedangkan cerai talak diajukan oleh pihak suami ke pengadilan dengan memohon agar diberi izin untuk menfucapkan ikrar talak kepada istrinya dengan suatu alasan yang telah disebutkan.
a. Cerai Talak
Dalam Pasal 14 sampai dengan pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikemukakan bahwa seorang suami yang bermaksud menceraikan istrinya berdasarkan perkawinan menurut agama Islam, mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama di tempat tinggalnya. Permohonan tersebut berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada Pengadilan Agama agar membuka sidang untuk keperluan tersebut. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil suami istri untuk didengar keterangannya dalam persidangan. Pengadilan Agama hanya memutuskan untuk memberi izin ikrar talak jika alasan-alasan yang diajukan oleh suami terbukti secara nyata dalam persidangan. Itu pun setelah majelis hakim sudah berusaha secara maksimal untuk merukunkan kembali dan majelis hakim berpendapat bahwa antara suami istri tersebut tidak mungkin lagi didamaikan untuk rukun kembali dalam suatu rumah tangga.
Cerai talak dengan segala akibatnya, seperti iddah, nafkah selama iddah, dan sebagainya dihitung sejak suami mengucapkan ikrar talak di hadapan Hakim Pengadilan Agama.
b. Cerai Gugat
Cera gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh istri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Dalam perkawinan menurut agama Islam dapat berupa gugatan karena suami melanggar ta`lik talak, gugatan karena syiqaq, gugatan karena fasakh, dan gugatan karena alasan-alasan sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Menurut Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 gugatan perceraian diajukan oleh suami istri kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Tetapi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 73 bahwa gugatan diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali apabila penggugat meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dalam hal penggugat bertempat tinggal di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Jakarta Pusat.
Apabila gugatan perceraian dilaksanakan atas alasan satu pihak mendapat penjara 5 tahun atau lebih, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi atau juga putusan Mahkamah Agung RI disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila gugatan perceraian diajukan ke pengadilan dengan alasan tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat suami tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksa diri kepada dokter. Jika gugatan perceraian didasarkan syiqaq (cekcok) terus-menerus yang membahayakan kehidupan suami isteri, maka untuk mendapatkan putusan perceraian itu harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.
Adapun cara mengajukan gugatan adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama (bagi orang Islam) yang bersangkutan. Bagi orang yang tidak dapat menulis boleh mengajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama, atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama mencatat gugatan lisan dalam bentuk gugatan sebagaimana yang diajukan itu diproses oleh Pengadilan Agama setelah yang bersangkutan membayar uang muka biaya perkara. Majelis Hakim Pengadilan Agama wajib menyidangkan perkara itu selambat-lambatnya 30 hari setelah perkara didaftarkan di Pengadilan Agama. Pengadilan Agama wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berpekara agar mereka rukun kembali, pada setiap sidang yang dilakukan.
Sidang Majelis Hakim Pengadilan Agama yang memeriksa perkara perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat harus dilaksanakan dalam sidang tertutup. Hal ini disebabkan karena dalam sidang gugatan perceraian itu kedua belah pihak saling mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi bahkan merupakan aib yang kurang layak diketahui oleh orang lain. Di samping itu, juga diharapkan kedua belah pihak bersedia memberikan keterangan yang lengkap untuk bahan pertimbangan hakim di dalam mengambil keputusan terhadap gugatan yang diajukan. Meskipun pemeriksaan gugatan perceraian dilaksanakan dalam sidang tertutup tetapi pembacaan putusan harus dilaksanakan dalam sidang terbuka untuk umum, sebab putusan mengenai perceraian itu membawa akibat hukum tertentu walaupun masih harus menunggu sampai putusan tersebut mempunyai hukum tetap.
Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah :
1. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana yang berlaku antara dua orang yang saling asing.
2. Keharusannya memberi mut`ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi.
3. Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafkah, yang menurut sebagian ulama wajib dilakukannya bila pada waktunya tidak dapat membayarnya.
4. Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah
5. Pemeliharaan terhadap anak
E. Kewajiban dan Hak Suami Istri
Hak dan kewajiban suami isteri baru muncul setelah keduanya terikat dalam akad nikah dengan pembayaran mahar sesuai permintaan pihak wanita. Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya, yakni mencukupi segala macam yang diperlukan isterinya baik berupa makanan, tempat tinggal, keperluan-keperluan pelayanan, maupun obat-obatan, dan yang lain-lain di sekitar sandang, pangan dan papan.
Kewajiban ini menjadi beban suami sebagai konsekuensi dari akad nikah, karena akad tersebut melahirkan implikasi bahwa suami boleh membatasi gerak istrinya untuk lebih berkonsentrasi dalam mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan melayani segala keperluan suami dengan ramah dan menyenangkan. Dan kalau isteri itu banyak menghabiskan waktunya di luar rumah untuk berbagai kegiatan profesi yang mengikat dan produktif, kewajiban nafkah tidak sepenuhnya di tangan suami karena dia tidak terikat dalam rumah, dan kapasitas pelayanan menjadi tidak optimal. Soal pemenuhan kebutuhan kerumahtanggaan seharusnya dibicarakan bersama-sama secara baik dan terbuka.
Firman Allah Q.S. Al-Baqarah [2] : 228
        
“Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.”
Ayat ini menjelaskan bahwa istri mempunyai hak dan istri juga mempunyai kewajiban. Kewajiban istri merupakan hak bagi suami. Hak istri semisal hak suami yang dikatakan dalam ayat ini mengandung arti hak dan kedudukan istri semisal atau setara atau seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Meskipun demikian, suami mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut.
Masalah hak dan kewajiban suami dan istri seperti yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi :
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Hak bersama suami istri . Yang dimaksud hak bersama suami istri adalah hak bersama secara timbal balik dari suami istri terhadap yang lain, yaitu :
1. Bolehnya bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya. Inilah hakikat sebenarnya dari perkawinan itu.
2. Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya, dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut mushaharah.
3. Hubungan saling mewarisi diantara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain bila terjadi kematian.
Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama dengan telah terjadinya perkawinan itu :
1. Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.
2. Memelihara kehidupan rumah tangga yang saknah, mawwadah, warahmah.

3. KESIMPULAN

Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hukum perkawinan Islam mengandung unsur-unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan kebenaran.
Selain itu perkawinan juga berdasarkan religius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan rumah tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Dengan demikian, segala hal yang berkaitan dengan perkawinan telah diatur dalam Al-Quran dan Sunah, sehingga disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fikih dan undang-undang dalam pengaturannya agar sah dan tertib dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2007
Djamali, R. Abdul. Hukum Islam. Bandung: Mandar Maju. 1997
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group. 2008
Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial Dirasah Islamiyah III. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1999
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media. 2009
Tihami, Sahrani Sohari. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009

Tidak ada komentar: