Kamis, 10 Februari 2011

Teori Gerak Ganda dan Teori Limitasi Hudud

A. PENDAHULUAN
Sejak munculnya reformisme Islam zaman modern lewat abad ke-19, tumpuan pada cara Islam diinterpretasikan dan dipraktiskan semakain ketara. Tafsir Al-Quran merupakan suatu wilayah yang semakin mendesak dalam proses pemecahan masalah umat.
Maka, mau tidak mau reformisme Islam harus memberikan fokus pada corak tafsir yang dominan dalam masyarakat, karena berkepentingan di dalam pembentukan pola pemikiran regresif dan progresif.
Tokoh Islam modern yang peling awal menggaskan corak tafsir dinamis bagi membuka ruang ijtihad semasa dan memecahkan kemandekan pemikiran Islam kontemporer adalah Fazlur Rahman, dalam teorinya yaitu Teori Double Movement (Teori Gerak Ganda).
Kemudian, perdebatan soal penerapan Hukum Islam (syari`ah) di sejumlah nagara sampai sekarang merupakan persoalan yang belum kunjung selesai, salah satunya adalah dalam Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Sejak runtuhnya Khalifah Usmaniyah di bagian barat dunia Islam, serta akibat kolonisasi negara-negara Islam oleh Eropa, Hukum Pidana Islam secara bertahap digantikan oleh Hukum Pidana Eropa.
Hal inilah yang selanjutnya menimbulkan kegelisahan intelektual seorang Muhammad Syahrur, salah seorang Pembaharu pemikiran Islam yang menempatkan Al-Quran sebagai fokus kajiannya dengan pola interpretasi modern. Dalam Memahami Al-Quran, Syahrur termasuk tokoh yang menolak kaum Fundamentalis yang mengkultuskan doktrin generasi awal Islam, tetapi tidak pula termasuk kaum sekularis yang menolak segala warisan Islam. Syahrur lebih menekankan kontekstualisasi sebuah teks dalam kehidupan masa kini. Sehingga kemudian memunculkan sebuah gagasan cerdas untuk menjembatani antara pihak yang pro dan kontra terhadap penerapan hukum Islam melalui konsep Limitasi dalam jinayah (The Limit Thory/Teori Batas).
Maka dalam hal ini, pemakalah akan memaparkan sedikit banyaknya tentang kedua teori tersebut, yaitu Teori Double Movement dan Teori Limitasi Hudud.

B. PEMBAHASAN
1. Teori Double Movement
Ketika syariat Islam dipahami secara simbolik dan direduksi dengan kawasan wajib tutup aurat, diawasi oleh polisi syariat, penerapan hukum cambuk, atau hukum potong tangan, tampaknya tidak relevan dan bahkan kontraproduktif bila diterapkan di Indonesia yang pluralistik ini.
Namun, jika dipahami dengan paradigma liberal (syariat liberal), maka akan menemukan karakternya yang inklusif dan toleran, sekaligus relevan dengan realitas kekinian yang dihadapkan pada isu pluralisme, demokrasi, dan HAM, yang menjadi agenda utama politik dunia global, termasuk di Indonesia. Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: A Sourcebook (1998), memetakan syariat Islam dalam visi liberalnya menjadi tiga.
Pertama, liberal syariah, dalam pengertian bahwa syariat dalam teks tertulis adalah bersifat liberal jika dipahami secara benar. Sikap liberal ini bukan semata-mata pilihan manusia, tetapi perintah dari Tuhan yang termaktub dalam Alquran.
Kedua, silent syariah, dalam pengertian bahwa tidak semua persoalan hidup tertampung dalam syariat. Karena dalam kenyataannya, syariat tidak menyediakan jawaban atau konsep tentang masalah tertentu, sehingga penyelesaiannya diserahkan kepada manusia atau menggunakan mekanisme ijtihad.
Ketiga, interpreted syariah, dalam pengertian bahwa praktik syariat dipahami dan dijelaskan oleh penafsiran manusia. Interpretasi manusia terhadap syariat dilakukan sebagai model kreativitas intelektual terhadap doktrin agama yang memang membutuhkan tafsir karena tidak tercakupnya semua problem kehidupan manusia.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud syariat liberal adalah menafsirkan syariat Islam secara substansial dalam konteks masyarakat kekinian. Perlu dicatat, bahwa kata ‘liberal’ yang dilekatkan pada kata ‘syariat’ sama sekali bukanlah penggagahan, apalagi konspirasi manipulatif terhadap syariat itu sendiri. Melainkan, meminjam terminologi Ulil Abshar Abdalla (2002), menafsirkan syariat Islam secara non-literal, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Perubahan sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan hukum yang terjadi dalam dunia Islam yang berinteraksi dengan dunia internasional non-Islam, selalu melibatkan proses dialektika yang intensif antara great tradition (tradisi besar) pada wilayah alam pikiran, konsep, ide, teori, keyakinan, dan gagasan. Sedangkan little tradition (tradisi kecil) yang merupakan wilayah aplikasi praktis di lapangan dari teori, konsep, ide, keyakinan dan gagasan tersebut dalam wilayah kehidupan konkrit pada budaya dan tatanan sejarah tertentu. Perubahan (change) akan terjadi ketika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong yang besar dibandingkan dengan tradisi keilmuan yang telah ada dan mapan sebelumnya. Jika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong yang lebih kecil dibandingkan kekuatan tradisi keilmuan yang lama, maka yang terjadi adalah tidak adanya perubahan.
Oleh karena itu, perubahan yang sangat mendesak dalam Dunia Islam yaitu pengalihan pemahaman Al-Qur’an dari hukum Islam (Fiqh) yang sifatnya teoritis dan normatif berkisar pada formalisme agama Islam menjadi hukum Islam yang kontekstual sesuai dengan sosiologis legal formal sekarang ini. Kontribusi teori double movement Fazlur Rahman mencoba melakukan terobosan baru dengan merekonstruksi pemahaman terhadap Al-Qur’an yang compatible dengan kehidupan kontemporer melalui metode penafsiran hermeneutika.
Begitu pula pentingnya membedakan antara legal spesifik dan ideal moral yang dikenal dengan istilah gerakan ganda (double movement). Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik adalah ketentuan hukum yang ditetapkan secara khusus. Ideal moral al-Qur’an lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya sebab ideal moral bersifat universal. Dengan ini Rahman berharap agar hukum-hukum yang akan dibentuk dapat mengabdi pada ideal moral, bukan legal spesifiknya karena al-Qur’an selalu memberi alasan bagi pernyataan legal spesifiknya. Langkah yang dilakukan, pertama memperhatikan konteks kesejarahannya baik mikro maupun makro ketika ayat diwahyukan. Dari sini bisa diambil pemahamn yang utuh tentang konteks normative dan historisnya suatu ayat maka timbullah istilah legal specific (praktis temporal) dan moral ide (normative universal).
Kedua, menerapkan nilai dan prinsip umum tersebut pada konteks pembaca al-Qur’an kontemporer. Pendekatan ini oleh Rahman digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat hukum dan sosial. Di sini terlihat keberanjakan Rahman dari metodologi ushul fiqh lama yang cenderung literalistik dan perlunya penguasaan-penguasaan ilmu-ilmu bantu yang bersifat kealaman maupun humaniora agar para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah.
A. Persoalan Pemahaman dan Pendekatan Al-Quran
Dalam pemahaman dan pendekatan Al-Quran ini, Fazlur Rahman memakai Hermeneutika (pemahaman). Metodologi tafsir al-Qur’an Fazlur Rahman dinisbatkan dengan hermeneutika, bukan tafsir, ta’wil dalam pengertian konvensional sebagaimana yang lazim digunakan oleh para mufasir. Rahman sendiri tidak pernah mengklaim jenis hermeneutika yang dianutnya. Namun karena teori interpretasinya menampakkan kebaruan dan progresivitas, para pengamat menggolongkan dalam kajian hermeneutika. Ada tiga kata kunci dalam memahami hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, yakni pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda, dan pendekatan sitetis-logis.
Aplikasi hermeneutika dalam pemahaman Al-Qur'an merupakan sebuah keniscayaan sejarah sebagai sebuah evolusi metodologis dari triadik metode penafsiran yang dikembangkan oleh umat Islam, yaitu tafsir takwil hermeneutika. Artinya, sebagai sebuah perangkat metodologis pembacaan Al-Qur'an, hermeneutika merupakan bagian integral perjalanan panjang sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur'an. Sejumlah gagasan konseptual dalam tradisi hermeneutika seperti keharusan mempertimbangkan konteks sosial pembaca maupun teks, konsep teks itu sendiri, keragaman potensial makna teks, mempertimbangkan kondisi audiens sebagai sasaran teks merupakan kumpulan konsep yang erat kaitannya, bahkan tidak lain merupakan dari istilah-istilah metodologis yang terdapat dalam tradisi kajian 'Ulum Al-Qur'an.
B. Operasi Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman
1. Hukum
Poligami
Poligami merupakan isu yang selalu muncul dalam hukum keluarga. Secara umum ulama Pakistan berpandangan bahwa poligami dibolehkan dalam Islam bahkan dijustifikasi dan ditoleransi oleh al-Qur’an sampai empat istri. Pandangan ini bagi Rahman mereduksi iedal moral al-Qur’an. Praktik ini tidak sesuai dengan harkat wanita yang memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki sebagaimana dinyatakan al-Qur’an. Karena itu, pernyataan al-Qur’an yang membolehkan poligami hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Ada syarat yang diajukan al-Qur’an yang tidak mungkin dipenuhi laki-laki, yakni berlaku adil. Dalam kasus ini, klausa tentang berlaku adil harus mendapatkan perhatian dan niscaya punya kepentingan lebih mendasar ketimbang klausa spesifik yang membolehkan poligami. Jadi, pesan terdalam al-Qur’an tidak menganjurkan poligami, melainkan monogami. Itulah ideal moral yang hendak dituju al-Qur’an.

Potong Tangan
Dalam hukum potong tangan bagi pencuri, menurut Rahman, ideal moralnya adalah memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi. Secara historis-sosiologis, mencuri menurut kebudayaan Arab tidak saja dianggap sebagai kejahatan ekonomi, melainkan juga kejahatan melawan nilai-nilai dan harga diri manusia. Namun sejalan perkembangan jaman, mencuri hanyalah kejahatan ekonomi, tidak ada hubungannya dengan pelecehan harga diri. Karenanya, bentuk hukumannya harus berubah. Mengamputasi segala kemungkinan yang memungkinkan ia mencuri lagi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang lebih manusiawi, misalnya penjara atau denda. Jadi hukum potong tangan adalah budaya Arab, bukan hukum Islam.
2. Metafisika
Tuhan
Dalam interpretasi tentang Tuhan, Rahman merespon dua pemikiran, Barat dan Muslim. Orang Barat banyak yang menggambarkan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai suatu konsentrasi kekuatan semata, bahkan sebagai kekuatan yang kejam; raja zalim. Di kalangan Muslim Mu’tazilah dan Asy’ariyah telah mereduksi makna hubungan Tuhan dan manusia. Mu’tazilah memberi peran yang besar kepada manusia dan mengecilkan peran Tuhan sehingga manusia tampak benar-benar ”bertanggungjawab”. Asy’ariyah memandang manusia tidak memiliki kekuatan sama sekali, sehingga Tuhan tampak sebagai yang maha kuasa. Sementara kaum sufi menganut paham pantheisme, semua adalah Tuhan.
Menurut Rahman, ada tiga hal yang sering ditekankan al-Qur’an sebagai upaya pemberian peringatan kepada manusia, (1) segala sesuatu selain Tuhan bergantung kepada tuhan, (2) Tuhan adalah Maha Pengasih, dan (3) aspek-aspek ini mensyaratkan hubungan yang tepat antara Tuhan dan manusia, hubungan yang dipertuan dan hamba-Nya, yang pada akhirnya mengkonsekuensikan hubungan yang tepat pula di antara sesama manusia.
C. Implikasi Metodologis Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman
- Menyuguhkan metodologi baru dalam pengembangan keilmuan Islam
Hermeneutika Rahman adalah hermeneutika yang memadukan akar tradisional Muslim dengan temuan hermeneut Barat modern. Dinamakan hermeneutika al-Qur’an karena hermeneutika difungsikan sebagai alat untuk menafsirkan kitab suci al-Qur’an.
- Menggeser paradigma dari wilayah metafisik-teologis ke wilayah etis-antropologis
Teori gerakan ganda membuat hermeneutika Rahman menebarkan nilai-nilai etis karena ideal moral menjadi tujuan utamanya.
- Menegakkan etika sosial dalam Islam modern.
Pergeseran paradigma dari dari wilayah metafisik-teologis ke wilayah etis-antropologis merupakan pembaharuan atas tujuan etis; tujuan yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai mahluk luhur.
D. Telaah atas Teori Qiyas dan Double Movement
Tradisi hukum Islam (fiqh) mengenal adanya sumber-sumber hukum yaitu al-Qur’an,
sunnah , ijma’ dan qiyas. Untuk menjelaskan tentang proses qiyas, asy-Syafi’i menegaskan sekurang-kurangnya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, jika Allah dan rasulnya telah mengharamkan sesuatu secara tersurat atau menghalalkannya karena alasan (‘illat/ma’na) tertentu, kemudian kita dapatkan hal serupa tetapi tidak ada nash khusus di dalam al-Qur’an atau Sunnah, maka kita bisa memberikan hukum haram atau halal berdasarkan fakta bahwa hal itu mempunyai essensi (‘illat) yang sama dengan yang telah ditetapkan status hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah tadi. Kedua, dalam hal dua kasus yang hampir-hampir sama, maka analogi (qiyas) harus didasarkan atas kemiripan yang paling lengkap, terutama dari sudut lahiriah. Dalam hubungan ini, landasan penetapan hukum model qiyas asy-Syafi’i memiliki kesamaan secara struktur logika dengan cara berfikir Aristoteles.
Akan tetapi, landasan penemuan ‘illat hukum harus didasari pada apa yang ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Dalam konteks ini, peran akal ada tetapi dibatasi oleh peran teks.
Kesinambungan antara peran akal dan teks pada periode kontemporer ditunjukan oleh satu tesis yang dikeluarkan oleh Fazlur Rahaman tentang gerak ganda (double movement) yang digunakan untuk membaca dan memahami al-Qur’an, secara khusus hukum Islam.
Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu “ideal moral” dan ketentuan legal spesifik al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, dalam berbagai penjelasannya, Rahman mengusulkan agar dalam memahami pasan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang sehingga al-Qur’an dapat dipahami dalam konteks yang tepat. Aplikasi pendekatan kesejarahan ini telah membuat Rahman menekankan akan pentingnya tujuan atau “ideal moral” al-Qur’an dengan legal spesifiknya.
“Ideal moral” yang dituju al-Qur’an lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifik. Melihat hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa sekalipun Rahman berusaha untuk mengkontektualisasikan ajara al-Qur’an, termasuk ajaran hukum, tetapi ia tidak lepas dari ketergantungan terhadap teks. Karena “ideal moral” adalah prinsip umum yang dibangun oleh al-Qur’an sebagai teks suci itu sendiri.
Teori double movement di atas maupun teori qiyas dalam tawarannya memiliki logika berfikir masing-masing, namun hal yang tidak dapat dinafikan bahwa kedua teori ini memiliki kesamaan dalam hal memperlakukan teks agama, yaitu mengarahkan suatu pemikiran tentang substansi teks. Hal ini menarik untuk dikaji karena menurut asy-Syatibi yang dikutip Danusiri bahwa golongan pola pikir gabungan antara tektualis dan kontekstualis (mungkin juga rasionalitas) merupakan golongan yang matang intelektualnya (rāsikhun/profesional)dalam mengetahui maksud syara’.

2. Teori Limitasi Hudud
Umat Islam telah berada dalam kehidupan yang sarat dengan persoalan yang kompleks, perubahan nilai yang terjadi akibat pengaruh globalisasi yang tak terelakkan mengharuskan pengkajian kembali beberapa aspek teologis dan kaidah Islam baik tentang hukum, negara, ataupun hal-hal fundamental lainnya. Aturan-aturan Islam yang digali dan diperoleh melalui ijtihad oleh para tokoh muslim pada abad pertengahan banyak yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Hal ini logis karena koridor-koridor yang telah ditetapkan oleh para tokoh muslim ketika itu tak lepas dari situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Oleh karenanya maka diperlukan ijtihad untuk mengakomodasi semua permaslahan kontemporer yang belum terumuskan dalam ijtihad ulama terdahulu.
Dalam rangkaian perbincangan di sekitar masalah jinayah hampir semua literatur fikih Islam menyajikan pembahasan tentang bughah (pemberontakan). Pendapat Syahrur mengenai teori hudud (limit) menarik untuk dibahas berkaitan dengan permasalahan itu. Syahrur memahami bahwa al-Qur’an memiliki muatan absolut tetapi dengan pemahaman yang relatif sehingga senantiasa salih li kulli zaman wa makan. QS. al-Hujurat ayat 9 menyebutkan bahwa hukuman bagi pelaku bugahh adalah hukuman mati. Persoalan yang muncul kemudian apakah hukuman mati itu diberlakukan sama kepada semua pelaku baik otak/dalang maupun orang yang hanya ikut-ikutan? Hal ini menarik karena Islam sebagai aturan memiliki dimensi yang luas sehingga memungkinkan manusia untuk memepergunakan akalnya secara maksimal tetapi tetap dalam batasan nilai moral luhur yang menjadi spirit Islam itu sendiri.
Syahrur, seorang ilmuwan sains berkebangsaan Syiria memiliki sebuah teori kontroversial yakni Teori Batas (The Theory Of Limit). Melalui teori ini, ia mencoba melakukan pembacaan ulang terhadap al-Qur’an. Syahrur memberikan interpretasi berbeda mengenai terma-terma penting dalam al-Qur’an yang kemudian membawanya untuk merumuskan teori hudud ini. Istinbat hukum yang dilakukan Syahrur menggunakan metode tartil, yaitu dengan mengumpulkan dan menganalisis ayat-ayat yang memiliki satu tema kemudian menarik kesimpulan berdasarkan analisisnya itu. Berdasarkan metode ini, Syahrur berpendapat bahwa ajaran Islam memiliki sifat istiqamah (lurus) dan hanifiyyah (fleksibel). Salah satu teorinya yang penyusun pakai dalam menganalisis hadd bugahh adalah teori batas maksimal (halatu al-hadd al-a’la). Dalam teori ini dijelaskan bahwa manusia dimungkinkan untuk melakukan ijtihad dengan memberi hukuman lebih ringan daripada yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an.
Teori ini sempat menggemparkan dunia Arab karena dianggap menyimpang dari asumsi kebenaran yang selama berabad-abad diyakini oleh masyarakat Syiria dan Arab. Secara terminology, kata hudud merupakan bentuk plural dari kata Al-hadd (batas/hukum). Dalam kecenderungan ahli fiqh (fuqaha), hudud diartikan sebagai hukuman yang sudah ditentukan Allah.
Maksud dari hukuman yang telah ditentukan Allah adalah bahwa hukuman itu sudah dibatasi, sudah ditentukan, tidak boleh dikurangi atau ditambah. Dengan begitu, hudud hanya diketahui dari teks eksplisit nash (ketetapan Allah), tidak boleh didasarkan atas makna implisit nash maupun ijtihad (pemikiran manusia). Dengan kata lain, hudud adalah hukuman yang sudah secara jelas ditetapkan oleh teks (nash Al-Qur’an dan sunnah) yang berlaku secara mutlak.
Dalam hal ini, Syahrur mempunyai pemahaman berbeda dengan ’pakem’ fuqaha. Syahrur memaknai hudud adalah sebagai batasan, yang dapat diubah sesuai kondisi dan bukan ketentuan mutlak. Artinya, bahwasanya segala ketentuan yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an dan sunnah merupakan batasan dari Allah. Sehingga, batasan itu dapat saja di geser untuk memperoleh ’maslahah’ terhadap situasi zaman modern ini.

Pemahaman Syahrur terhadap risalah (ketetapan hukum) Muhammad, berbeda dengan risalah Nabi Musa atau Isa. Karakteristik khusus risalah Nabi Muhammad adalah sifatnya yang hududi, bukan ayni (hukum limitatif). Dengan demikian, risalah tersebut berisi hukum-hukum hanif (fleksibel) yang mampu berinteraksi dengan tuntutan situasi dan kondisi lokal-temporal-spasial. Sehingga, sudah seharusnya hukum Islam direkontekstualisasikan terhadap keadaan yang sedang berlangsung.
Pertanyaanya, apakah dapat diaplikasikan secara utuh di Indonesia? Tentunya tidak. Dalam kerangka ini, Dr. Muhyar Fanani dalam buku tugas akhir doktornya ini memberikan terobosan spektakuler dalam penyempurnaan teori hudud Syahrur. Sehingga teori ini dapat dieplikasikan secara lebih efektif di Indonesia.
Dalam buku ini Muhyar mengkritisi teori Syahrur dan menyempurnakanya. Muhyar menilai bahwa teori hudud Syahrur tidak mampu keluar dari hegemoni positivisme-nomotetik yang pada akhirnya akan melahirkan ilmu yang monologal dan sulit menumbuhkan emansipasi masyarakat karena masyarakat masih didominasi oleh positivisme ilmiah (logika nomotetis), jika ini dibiarkan, jutru akan menumbuhkan otoritarianisme, sebab tradisi positivisme mengandung kepentingan teknis, yakni mengontrol dan mendominasi.
Dari sini Muhayar membuktikan kemampuan akademiknya dengan melahirkan teori hudud kritis. Teori ini memberikan perubahan pada hudud Syahrur yang pada dasarnya megedepankan ilmu-ilmu kealaman dan dominasi para ilmuan dalam menetukan hukum dengan metodologi ilmu-ilmu humaniora, terutama metode hermeneutika yang secara tegas membiarkan subyek (ilmuan) meleburkan diri dengan obyek (masyarakat) dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan hukum setelah hudud Allah ditemukan.
Diantara perubahan Muhyar adalah melengkapi teori ini dengan logika ideografis dan refleksi-diri, yaitu menafsirkan makna dengan tindakan-tindakan sosial, dan bukan menjelaskan menurut sebab-akibat. Dengan demikian, subjek dapat menguak makna, bukan sekedar menemukan kausalitas yang niscaya. Dalam kerangka ini, teori hudud kritis menuntut ilmuan (subjek) untuk berpartisipasi dalam objek. Teori hudud yang telah diperbarui inilah yang akan melahirkan masyarakat madani.
Inti dari masyarakat madani adalah adanya emansipasi masyarakat sehingga masyarakat memiliki kebebasan dalam berkehendak, berkesadaran, dan bebas dari segala bentuk distorsi komunikasi akibat dari adanya dominasi pihak luar yang membelenggu. Dalam kerangka ini, Muhyar dalam ‘hudud kritisnya’ menggunakan pendekatan historis dan interpretatif-kritis.
Selain itu, ia juga menambah metodenya dengan refleksi-diri. Dengan demikian, teori ini akan mampu memahami manusia dari dimensi interaksi sosial-budaya, baik horisontal (intersubjektif) dan vertikal (kesejahteraan dan aspirasi) dan melalui analisis reflektif sehingga mampu membebaskan manusia dari belenggu ideologis atau struktur politik yang mengurungnya.
A. Pemikiran Muhammad Sahrur Syahrur tentang Teori Batas (The Limit Theory)
Latar belakang pendidikan Muhammad Syahrur yang berbasis teknik, menghantarkan pada penelitiannya sangat kental mengedepankan sifat-sifat empiris, rasional dan ilmiah. Menurutnya, pemikiran-pemikiran dasar metodologis ilmiah memberikan hasil yang berbeda dibanding produk-produk pemikiran sebelumnya (salaf).
Gagasan pemikiran Syahrur ini secara umum ingin mencari solusi alternatif terhadap penerapan hukum pidana Islam, yang selama ini implikasi pemahaman mayoritas fuqaha membawa dampak pada penerapannya yang kaku. Ia memandang bahwa agama islam adalah agama fitrah dan hanafiyyah senantiasa mengalami perubahan. Syahrur menemukan bahwa terdapat dua aspek pemahaman keislaman yang dilupakan selama beberapa masa, yaitu; al-istiqamah dan al-hanifiyyah. Melalui analisis linguistik, Syahrur menjelaskan bahwa kata al-hanif berasal dari kata (musytaq) dari hanafa yang berarti bengkok, melengkung (hanafa); atau bisa pula dikatakan untuk orang yang berjalan di atas dua kakinya (ahnafa) dan atau berarti orang yang bengkok kakinya (hanufa). Kata ini juga dibandingkan dengan kata janafa, yang berarti condong kepada kebaikan. Adapun kata al-Istiqamah, musytaq dari kata “qaum” yang memiliki dua arti: (1) kumpulan manusia laki-laki dan (2) berdiri tegak (al-intisab) dan atau kuat (al-‘azm). Berasal dari kata al-intisab ini muncul kata al-mustaqim dan al-istiqamah, lawan dari melengkung (al-inhiraf); sedangkan dari al-‘azm, muncul kata al-din al-qayyim (agama yang kuat dalam kekuasaannnya); tentang makna kuat ini seperti dalam Q. Al-Nisa’: 34 dan al-Baqarah: 255.
Setelah ia menemukan dua kata kunci, yakni al-istiqamah dan al-hanifiyyah, ia memperkenalkan apa yang disebutnya “teori limitasi” atau teori batas (nazariyah al-hudud). Asumsi dasarnya adalah bahwa Allah dalam menetapkan hukum di dalam Al-Qur’an ada batasan-batasan dinamis dan bisa berubah. Allah SWT Di dalam Al-Qur’an menetapkan konsep hukum maksimum dan minimum (al-istiqamah / curvature), dan manusia bergerak dari dua batasan tersebut (al-hanifiyyah/ straghtness).Atas dasar pemikiran ini Syahrur yakin bahwa Islam akan tetap sesuai dengan perkembangan tata kehidupan manusia serta mampu merespon atas berbagai problem yang muncul kapan dan di manapun saja. Terkait dengan teori batas (teori limitasi) yang dikemukakannya, Syahrur menjelaskan enam model teori batas, yaitu:
1. Batas minimal;
2. Batas maksimal;
3. Batas maksimal dan minimal sekaigus;
4. Batas minimal dan maksimal sekaligus tetapi dalam satu titik koordinat;
5. Batas maksimal dengan satu titik yang cenderung mendekati garis lurus tapi tidak ada persentuhan;
6. Batas maksimum positif dan tidak boleh dilampaui, batas minimum negatif boleh dilampaui.
Mengacu pada Teori batas (limit Theory) hukum Islam diatas, Syahrur kemudian menyatakan bahwa hukuman dalam pidana Islam (jinayat) yang dianggap kejam dan tidak berprikemanusiaan seperti potong tangan atau hukuman badan (sehingga akhirnya menimbulkan pro dan kontra), pada dasarnya bukanlah hukuman yang serta merta dapat diberlakukan seketika. Sebab sebenarnya hukuman-hukuman tersebut ialah uqubat maksimal dalam hudud. Artinya hukuman demikian seharusnya dapat diganti dengan hukuman yang lain, seperti hukuman penjara misalnya. Karena mungkin saja terpidana belum layak atau pantas untuk mendapatkan hukuman maksimal tersebut, setelah mempertimbangkan lebih jauh kondisi objektif yang ada.
Misalnya, jika dilihat tentang ketentuan tangan yang harus dipotong juga berbeda-beda sesuai dengan pemahaman mereka dalam memberikan interpretasi terhadap makna yadd (tangan). Sehingga dari interpretasi akhirnya melahirkan pendapat bahwa tangan yang harus dipotong adalah sampai pergelangan tangan, ada juga yang berpendapat sampai siku, ada pula yang berpendapat sampai lengan, tetapi ada juga yang berpendapat cukup sampai pangkal jari, sesuai pemahaman mereka terhadap arti kata “yadd”. Dengan demikian persoalan seberapa tangan seseorang harus di potong juga masih terjadi perbedaan yang tajam. Implikasi dari perbedaan ini akan berbuntut pada penetapan yang tidak pasti pula, sehingga kemungkinan salah dalam menetapkan sangat memungkinkan sekali. Sedangkan menetapkan hukum yang masih belum jelas landasannya akan sangat membahayakan.

B. Implikasi Teori Limitasi Syahrur pada Penerapan Hukum Islam
Dengan munculnya karya monumental Syahrur, yang mendasarkan basis pemikirannya pada teori limitasi ini, kini Syahrur termasuk sederetan orang yang digolongkan sebagai pemikir Islam liberal. Keliberalnya dalam berfikir nampak dalam prinsip hukum Islam yang dibangunnya, yakni al-Islam salih likull zaman wa makan (bahwa Islam senantiasa selaras dengan perkembangan waktu dan tempat). Konsekuensi dari pemikirannya ini membawanya pada upaya serius dalam melakukan pembaharuan hukum Islam melalui teori limitasinya. Konsep limitasi Syahrur, yang dijadikan sebagai kerangka metodologi dalam memahami persoalan jinayah, paling tidak akan ikut memberikan alternatif pemecahan terhadap kebekuan persoalan ini.
Persoalan jinayah yang oleh mayoritas fuqaha’ dipahami sebagai ayat qath’i telah menjebak pada produk hukum yang kaku dan terkesan tidak mengikuti perkembangan jaman. Dengan konsep limitasi ini, paling tidak muncul alternatif pemecahan untuk mencari solusi dalam memahami persoalan jinayah ini. Teori litimasi yang dibangun Syahrur merupakan interpretasi yang berangkat dari sebuah kesadaran bahwa jarimah hudud (sebagaimana para fuqaha definisikan), memiliki landasan sangat kuat di dalam Al-Qur’an, sehingga implikasinya hukum jarimah hudud sulit di hapuskan. Karena itu, menurutnya yang dapat dilakukan adalah; pertama, meredifinisi versi hukuman hudud dan kedua, melakukan pembatasan katagori yang termasuk dalam hudud. Dengan demikian Syahrur termasuk mendukung suatu kebijakan hukum hudud yang manusiawi yang didasarkan atas penalaran dengan berusaha menyelaraskan antara kebijakan-kebijakan pengambilan hukum tersebut dengan teks-teks Al-Qur’an yang menurut Syahrur termasuk kategori ayat haddiyah (ayat yang menerima limitasi).
Perumusan Syahrur dalam pembagian ayat-ayat qath’i menjadi ayat ainiyah dan haddiyah misalnya, merupakan suatu interpretasi yang patut mendapatkan apresiasi, karena telah membuka kita pada suatu penafsiran yang tidak berhenti. Itulah sebabnya ia mengemukakan bahwa ayat muhkamat menurut Syahrur dikategorikan sebagai ayat yang masih menerima ijtihad, sebagaimana ayat-ayat mutasyabihat masih menerima ta’wil.
Menurut Syahrur, karena hudud merupakan hukuman yang cukup keras dan kejam yang bisa mengandung konsekuensi-konsekuensi politik negatif dalam aplikasinya, maka hudud sebaiknya dibatasi pada jenis pelanggaran yang hukumannya disebutkan secara khusus di dalam Al-Qur’an. Menurut Syahrur hudud hanya dibatasi empat jenis pelanggaran, yaitu sariqah, hirabah, pembunuhan, zina dan qazaf. Sedangkan untuk meredefinisi versi hukuman hudud, Syahrur memahaminya dengan teori batas. Ayat-ayat hudud yang selama ini tidak menerima interpretasi karena dipandang sebagai ayat qath’i oleh Syahrur dipahami sebagai ayat haddiyah, yaitu suatu ayat yang bisa menerima limitasi dan perubahan. Kesalah pahaman para Ulama memahami ayat haddiyah dengan memposisikan menjadi ayat ‘ainiyyah (ayat yang mesti dipahami apa adanya), menurut Syahrur telah menjebak mereka dalam kekeliruan yang fatal.
Dalam memahami hukum tindak pidana pencurian misalnya, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah: 38, ia pahami dengan teori batas maksimal, karena ayat ini dikategorikan sebagai ayat hadiyyah. Pada ayat ini Allah menjelaskan bagi pelaku pencurian dengan hukuman potong tangan sebagai batas hukuman maksimal. Tentunya bagi tindak pidana pencurian yang tidak mengharuskan ditetapkan hukuman maksimal, maka bisa ditetapkan hukuman yang lebih ringan. Selanjutnya ia mengusulkan agar para fuqaha atau pelaksana hukum ketika hendak menerapkan hadd Allah yang berupa batasan maksimal harus benar-benar memahami definisi dan karakteristik yang didasarkan pada situasi dan kondisi yang melingkupi persoalan tindak pidana itu terjadi.
Implikasi dari konsep limitasi yang digunakan untuk memahami jinayah ini paling tidak pertama; akan memberikan ruang gerak dan kelonggaran bagi para yuris muslim serta praktisi hukum melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat hudud, yang selama ini dianggap sudah final dan jelas oleh jumhur fuqaha, dan memandang tidak perlu lagi ijtihad. Interpretasi Syahrur dalam hukum pidana Islam (jinayah), membawanya pada keputusan penerapan hukum Islam tidak kaku, karena sifatnya yang menerima perubahan (hanif), tetapi tetap berpegang pada ketetapan yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur’an (al-istiqamah). Sifat kaku yang terdapat pada jarimah hudud, justru akan mengakibatkan hukum Islam sulit untuk diterapkan. Karena disamping persoalan internal umat Islam yang masih mempersoalkan tentang efektifitas dan ketetapan penerapan hukum jarimah hudud, ia juga akan berbenturan dengan kesepakatan-kesepakatan regional dan internasional yang dengan gigih menyuarakan demokratisasi dan perlindungan Hak-Hak Asai Manusia.
Implikasi kedua; akan memberikan kesempatan kepada para yuris muslim dan praktisi hukum (Islam) untuk menetapkan kembali hukuman bagi pelaku pidana Islam (hudud), sesuai dengan kondisi obyektif yang ada serta ruang dan waktu yang menyertainya. Sehingga diharapkan rumusan-rumusan hukum pidana Islam ini lebih menedepankan aspek-aspek kemanusiaan, edukatif dan keadilan.
C. Keunggulan Teori Batas
Sahrur memberikan satu sumbangan besar sekaligus penawaran baru dalam ushul fiqh; Rekonstruksi metodologi ijtihad. Sebagian besar ayat-ayat hudud telah di klaim sebagai ayat muhkamat yang berisi penafsiran tunggal. melalui teori batasnya, sahrur mengajak untuk menggunakan qiraah mutakarirrah (pembacaan ulang).
Teorinya juga mempermudah kita melihat hukum Allah dengan lensa yang lebih jelas, yaitu dengan batas maksimal, minimal, juga terbukanya manusia untuk berijtihad terhadap hukum yang ada dalam al Quran yang sebelumnya tidak elastis. Dalam masalah warisan misalnya, dengan teori barunya ini perempuan menjadi punya hak yang sama seperti laki-laki, padahal ulama’ dulu sudah tidak mau merubah takaran 2 banding 1 untuk laki-laki.
D. Kritik atas Teori Batas
1. kurang kejelasannya pengelompokan atau penempatan suatu ayat dalam enam teori batas, khususnya al Hadd al Adna dan al Hadd al A’la. Hukuman pencuri misalnya. Sahrur memasukkanya dalam teori kedua (Al-Hadd al-A’la) yang hanya mempunyai batas maksimum. Hukuman pencuri tidak boleh melebihi potong tangan, bahakan boleh dikurangi karena mempertimbangkan keadaan pencuri. Lalu, bagaimana jika ada yang mencuri dokumen (sangat) penting negara, apakah hanya di potong tangan. Dalam kasus ini, mungkin saja orang lain akan memasukkanya ke teori pertama (al Hadd al Adna) yang hanya punya batas minimal, dalam hal ini potong tangan.
2. Sahrur tidak bisa lepas dari kerangkeng tektualisme. Semua penawarannya, terutama teori batas berangakat dari teks. Permasalah pokok atas bahasa, menjadikan teori ini tetap terpenjara dalam aksara Alquran. Ia hanya bermain dalam kata-kata alquran. Menganilisis kalimat dan ayat lalu memasukannya dalam teori. Mungkin ini akibat dari keahliannya dalam ilmu eksact yang bersifat kaku.

C. PENUTUP
Kesimpulan
Logika teori double movement yang dikemukakan Fazlur Rahman adalah perpaduan antara logika induktif dan deduktif. Pada gerakan pertama adalah logika induktif yang bertujuan untuk menemukan “tujuan” atau “ideal moral” yang dalam pelacakannya ternyata merupakan usaha penyempurnaan terhadap qiyas yang sudah ada (karena qiyas yang sudah ada tidak dapat menemukan ‘illat hukum dengan klasifikasi yang sistematis). Pada gerakan pertama, tentunya, Rahman terpengaruh oleh model berfikir qiyas, karena ia pun menjelaskan prosedur qiyas yang menurutnya belum sempurna. Selanjutnya, gerak kedua adalah model logika deduktif, yaitu menarik hal yang umum sebagai hasil dari gerak pertama kepada hal-hal yang khusus yang sedang dihadapi masyarakat sekarang dengan mempertimbangkan kondisi objektif.
Syahrur, seorang ilmuwan sains berkebangsaan Syiria memiliki sebuah teori kontroversial yakni Teori Batas (The Theory Of Limit). Melalui teori ini, ia mencoba melakukan pembacaan ulang terhadap al-Qur’an. Syahrur memberikan interpretasi berbeda mengenai terma-terma penting dalam al-Qur’an yang kemudian membawanya untuk merumuskan teori hudud ini.
Implikasi dari konsep limitasi yang digunakan untuk memahami jinayah ini paling tidak pertama; akan memberikan ruang gerak dan kelonggaran bagi para yuris muslim serta praktisi hukum melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat hudud. Implikasi kedua; akan memberikan kesempatan kepada para yuris muslim dan praktisi hukum (Islam) untuk menetapkan kembali hukuman bagi pelaku pidana Islam (hudud), sesuai dengan kondisi obyektif yang ada serta ruang dan waktu yang menyertainya. Sehingga diharapkan rumusan-rumusan hukum pidana Islam ini lebih menedepankan aspek-aspek kemanusiaan, edukatif dan keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
http://teori ganda/Tugas-Online.htm
http://teori ganda/aplikasi-teori-double-movement-fazlur.html
http://teori ganda/pembaruan-interpretasi-fazlur-rahman_126.html
http://teori ganda/HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FAZLUR RAHMAN « Jeryronggo.htm
http://teori limitasi/gdl.php.htm
http://abuenadlir.blogspot.com/2010/02/teori-limit-m-syahrur-muhammad-abu.html
http:// teori limitasi/index.ph.htm
http://www.docstoc.com/docs/36656310/Arah-Baru-Metode-Pemikiran-Hukum-Islam

1 komentar:

MIMBAR SYAHADATAIN mengatakan...

mantap. lebih mantap lagi jika antara analisa dengn kutifan dibedakan, sukses ukhti