Kamis, 10 Februari 2011

Hukum Perdata Waris

PENDAHULUAN

Hubungan persaudaraan dapat terpecahbelah jika dalam masalah pembagian harta waris tidak dilakukan dengan adil dan tidak berdasarkan landasan hukum. Untuk menghindari masalah tersebut, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan tepat,dan salah satu caranya adalah menggunakan hukum waris menurut undang-undang yang berlaku.
Banyak permaslahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak puas dengan hak waris yang ia terima atau ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang aturan yang akan mereka gunakan dalam pembagian harta waris.
Oleh karenanya, dalam pembagian harta waris harus dilihat terlebih dahulu aturan mana yang akan digunakan para ahli waris dalam penyelesaian pembagian hak waris. Disini pemakalah akan membahas tentang hukum waris di Indonesia.

PEMBAHASAN
1. Perihal Waris pada Umumnya
Istilah hukum waris dalam Perdata Barat disebut dengan Efrecht. Hukum waris diatur dalam Buku II KUH Perdata, yaitu pasal 830 sampai dengan pasal 1130. Buku II KUH Perdata ini berkaitan dengan Hukum Kebendaan.
Selain dalam Buku II KUH Perdata, hukum waris juga diatur dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Adapun dalam masyarakat Indonesia juga berlaku ketentuan waris adat yang sifatnya merupakan hukum tidak tertulis.
Hukum waris dalam KUH Perdata pasal 830 adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam terdiri dari 4 bab dan 23 pasal yaitu 171-193. Pada pasal 171 berisi tentang penjelasan tentang hukum waris, pewaris (muwarrits), ahli waris (waritsun), harta peninggalan (waratsah), harta warisan (tirkah), wasiat, hibah, anak angkat, dan baitu mal (Balai Harta Keagamaan).
Wasiat dan hibah masuk ke dalam kategori waris, karena jika ada seseorang yang tidak akan mendapatkan waris karena terhalang oleh ahli waris lain, seorang pewaris dapat memberikan sebelum meninggalnya dengan cara berwasiat atau hibah.
Salah satu orang yang tidak berhak menerima waris adalah anak angkat, oleh karena itu pewaris dapat memberikan harta peninggalannya dengan cara berwasiat atau hibah. Wasiat dan hibah juga dapat diberikan kepada lembaga termasuk hal ini adalah lembaga keagamaan seperti masjid, madrasah dan yayasan.
Menurut undang-undang, ada dua cara untuk menyelenggarakan pembagian warisan, yaitu:
a. Pewarisan menurut undang-undang ialah pembagian warisan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan darah yang terdekat dengan si pewaris
b. Pewaris berwasiat yaitu pembagian warisan kepada orang-orang yang berhak menerima warisan atas kehendak terakhir (wasiat) si pewaris
Dalam hukum waris berlaku beberapa asas :
- Bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda (yang dapat dinilai dengan uang) saja yang dapat diwariskan
- Bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
Dalam undang-undang pun telah ditetapkan bahwa orang-orang yang berhubung jabatan atau pekerjaannya dengan si meninggal, tidak diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat yang diperbuat oleh si meninggal, misalnya notaris yang membuatkan surat wasiat.
Seseorang dapat terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena :
a. Divonis telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukum 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

2. Hak Mewarisi Menurut Undang-Undang
Garis kekeluargaan untuk menetapkan warisan dapat dibedakan menjadi :
1. Garis menegak (line), ialah garis kekeluargaan langsung satu sama lain misalnya bapak kakek- kakek- bapak- anak- cucu dihitung menurun, kalu sebaliknya dihitung menanjak.
2. Garis mendatar (zijlinie), ialah garis kekeluargaan tak langsung satu sama lain, misalnya paman bapak- paman- keponakan- dan seterusnya.
Dalam B.W.(Burgerlijk Wetboek) kita, terdapat 4 golongan ahli waris yang bergilir berhak atas harta warisan dengan penggantian. Apabila ada ahli waris dari golongan ke-1, maka golongan-golongan yang lain tidak berhak; dan jika golongan ke-1 ini tidak ada, maka golongan ke-2 yang berhak, demikian seterusnya.
Keempat golongan itu adalah :
1. Anak-anak dan/atau keturunannya dan janda
2. Orang tua, saudara-saudara sekandung dan / atau anak-anak keturunannya
3. Kakek-kakek dan nenek-nenek, dan leluhur seterusnya ke atas dari pewaris
4. Sanak keluarga yang lebih jauh dalam garis ke samping sampai derajat ke-6, yaitu saudara-saudara sepupu dari pewaris.

3. Menerima atau Menolak Warisan
Jika terbuka suatu warisan, seorang ahli waris dapat memilih menerima atau menolak warisan itu, atau ada pula kemungkinan untuk menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang si meninggal, yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
Dalam pasal 1045 B.W. berbunyi “ Tak seorang pun wajib untuk menerima harta peninggalan yang diberikan kepadanya.” Tetapi warisan harus diterima atau ditolak untuk bagiannya oleh setiap ahli waris, tidak dapat menerima atau menolak sebagian.
Peraturan-peraturan yang berlaku dalam hal penerimaan atau penolakan warisan secara ringkas dadalah sebagai berikut :
a. Orang yang meninggalkan warisan, tidak diperbolehkan membatasi hak seorang ahli waris untuk memilih antara kemungkinan menerima penuh, menolak atau menerima warisannya dengan beryarat.
b. Pemilihan antara tiga kemungkinan tersebut oleh seorang waris tak dapat dilakukan selama warisan belum berbuka.
c. Pemilihan tidak boleh digantungkan pada suatu ketetapan waktu atau suatu syarat.
d. Pemilihan tidak dapat dilakukan hanya mengenai sebagian saja dari warisan yang jatuh kepada seseorang, artinya jika seorang ahli waris menerima atau menolak, perbuatan itu selalu mengenai seluruh bagiannya dalam warisan.
e. Menyatakan menerima atau menolak suatu warisan, adalah suatu perbuatan hukum yang terletak dalam lapangan hukum kekayaan.
f. Jika seorang ahli waris sebelum menentukan sikapnya, ia meninggal, maka haknya untuk memilih beralih kepada ahli waris-ahli warisnya.


4. Perihal Wasiat atau Testament
Wasiat ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal.
Pada pasal 931 B.W.menentukan bahwa surat wasiat dapat dibuat dengan tiga macam cara, yaitu:
1. Dengan suatu akta olografis atau ditulis tangan. Menurut Code, untuk berlakunya testament olografis, tidak ada syarat bahwa harus disimpan oleh notaris. Pewaris dapat menggunakan seluruh harta peninggalannya dengan surat yang ditulis, ditandatangani serta ditanggali dan disimpannya sendiri.
2. Dengan akta umum. Pembuatan akta umum ini dapat dilakukan dengan dihadiri orang-orang yang tidak ada kaitannya dengan itu, namun tidak disebutkan dalam akta.
3. Penentuan rahasia atau tertutup. Surat wasiat itu dapat ditulis oleh pewaris atau orang lain, tetapi harus ditandatangani oleh pewaris sendiri. Kertas yang memuat penetapan-penetapan atau kertas yang digunakan untuk sampul, harus ditutup atau disegel. Pewaris juga harus menyampaikan surat wasiat tertutup dan bersegel kepada notaris dengan dihadiri empat orang saksi.
Suatu testament dapat ditarik kembali setiap waktu. Hanya pemberian warisan yang telah diletakkan dalam suatu perjanjian perkawinan, tidak boleh ditarik kembali. Sebab, sifatnya perjanjian perkawinan, hanya satu kali dibuat dan tidak dapat diubah atau ditarik kembali. Penarikan kembali testament dapat dilakukan dengan cara :
1. Pencabutan secara tegas, yaitu dengan dibuatnya testament baru di mana diterangkan secara tegas bahwa testament yang dahulu ditarik kembali.
2. Pencabutan secara diam-diam, yaitu dengan dibuatnya testament baru yang memuat pesan-pesan yang bertentangan dengan testament yang lama.

5. Legitieme Portie (Bagian Waris Menurut Undang-Undang)
Para ahli waris dalam garis lencang baik ke bawah maupun ke atas, berhak atas suatu “legitieme portie”, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Peraturan mengenai legitieme portie ini oleh undang-undang dipandang sebagai suatu pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat atau testament menurut kehendak hatinya sendiri.
Tentang berapa besarnya legitieme portie bagi anak-anak yang sah ditetapkan oleh pasal 914 B.W., sebagai berikut :
1. Jika hanya ada seorang anak yang sah, maka legitieme portie berjumlah separuh dari bagian yang sebenarnya, akan diperolehnya sebagai ahli waris dalam undang-undang.
2. Jika ada dua orang anak yang sah, maka jumlah legitieme portie untuk masing-masing 2/3 dari bagian yang sebenarnya akan diperolehnya sebagai ahli waris menurut undang-undang.
3. Jika ada tiga orang anak yang sah atau lebih tiga orang, maka jumlah legitieme portie itu menjadi ¾ dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh masing-masing sebagai ahli waris menurut undang-undang.
Bagi seorang ahli waris dalam garis lencang ke atas, menurut pasal 915 jumlah legitieme portie selalu separuh dari bagiannya sebagai ahli waris menurut undang-undang. Begitu pula menurut pasal 916 jumlah legitieme portie bagi seorang anak yang lahir di luar perkawinan yang telah diakui, adalah separuh dari bagiannya sebagai ahli waris menurut undang-undang.



6. Executeur-Testamentair dan Bewindvoerder
Orang yang akan dapat warisan, berhak untuk menunjuk seorang atau beberapa orang executeur-testamentair atau pelaksanaan-wasiat, yang ditugaskan mengawasi bahwa surat wasiat itu sungguh-sungguh dilaksanakan menurut kehendak si meninggal.
Setiap orang dapat menjadi excuteur. Pasal 1006 B.W.tidak memperkenankan :
a. Wanita-wanita yang kawin.
b. Orang-orang yang belum dewasa
c. Orang yang ditempatkan di bawah kuratel
d. Mereka semua yang tidak berwenang untuk menyelenggarakan perikatan.
Di dalam penunjukan itu, kepada executeur tersebut dapat diberikan kekuasaan untuk menarik semua atau sebagian benda-benda yang termasuk warisan dalam kekuasaannya. Tetapi ia tidak boleh menguasai benda-benda itu lebih dari satu tahun lamanya.
Diantara tugas-tugas dari ececuteure, adalah sebagai berikut :
a. Mengawasi orang-orang yang diberikan legaat oleh si meninggal sungguh-sungguh menerima pemberian legaatnya masing-masing.
b. Membuat rincian mengenai harta peninggalan
c. Menyegel harta peninggalan
d. Berwenang menagih piutang dari harta peninggalan
Orang yang akan meninggalkan warisan, berhak untuk menunjuk seorang atau beberapa orang bewindvoerder yang ditugaskan untuk mengurus kekayaan itu, sedangkan ahli waris hanya dapat menerima penghasilannya saja dari kekayaan tersebut. Bewind ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai kekayaan itu dalam waktu yang singkat dihabiskan oleh ahli waris tadi.

7. Harta Peninggalan yang Tidak Terurus
Jika setelah lewat tiga tahun terhitung mulai terbukanya warisan belum juga ada seorang ahli waris yang tampil ke muka atau melaporkan diri, maka pengurusan harta peninggalan itu akan dilakukan oleh negara, yang akan berhak untuk mengambil penguasaan atas segala barang warisan yang kemudian harta peninggalan itu akan menjadi milik negara.
Seperti telah ditentukan oleh pasal 520 B.W., yaitu “benda-benda pewaris yang meninggal dunia tanpa ahli waris, atau yang harta peninggalannya telah ditinggalkan atau diterlantarkan, menjadi milik Negara.” Menurut pasal 832 ayat 2 B.W., “ Negara wajib memenuhi hutang-hutang sejauh nilai dari benda-benda itu mencukupi.”
Kasus di mana suatu harta peninggalan dipandang tidak dikelola, disebutkan dalam pasal 1126 B.W. kasus ini, adalah :
1. “Jika pada waktu harta peninggalan terbuka, tidak ada orang yang tampil untuk menuntut haknya.”
2. “Jika ahli waris yang dikenal menolak warisan yang sama.”
Untuk harta peninggalan yang tidak ada pengelolanya, maka dalam harta peninggalan terbuka itu, diangkat seorang kurator “atas permohonan orang-orang yang berkepentingan, atau atas usul yang disertai dengan penjelasan dari penuntut umum/jaksa”(Pasal 1127 ayat 1 B.W.).
Adapun tugas dari kurator tersebut adalah :
a. Menyegel serta menyuruh notaris untuk membuat rincian harta peninggalan.
b. Mengelola dan membereskan harta peninggalan
c. Melakukan pemanggilan melalui surat kabar atau dengan cara lainnya untuk melacak ahli waris

8. Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam berlaku bagi orang Indonesia (baik asli ataupun keturunan) yang beragama Islam berdasarkan S.1854 No.129 yang diundangkan di Belanda dengan S.1855 No.2 di Indonesia dengan S.1929 No.22, yang telah ditambah, diubah dan sebagainya terakhir dengan pasal 29 UUD 1945,jo Tap No.II/MPRS/1961 lampiran A No. 34 jo GBHN 1983 Tap No. II/MPR/1983 Bab IV.
Menurut pasal 1714 Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, ahli waris dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Menurut hubungan darah, yaitu ahli waris yang timbul karena hubungan keluarga.
2. Menurut hubungan perkawinan, yaitu ahli waris yang timbul karena adanya ikatan perkawinan antara pewaris dengan ahli waris.

Perihal pembagian waris dalam Kompilasi Hukum Islam, tercantum pada 16 pasal :
- Pasal 176, bagian anak perempuan separoh harta bila sendirian, dan dua pertiga bila dua orang atau lebih
- Pasal 177, bagian ayah sepertiga bila pewaris tidak punya anak; bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian
- Pasal 178, bagian ibu seperenam bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, ibu mendapat sepertiga. Ibu mendapat sepertiga sisa bila ada ayah.
- Pasal 179, bagian duda (suami) setengah jika pewaris tidak ada anak; dan jika ada anak, duda mendapat seperempat.
- Pasal 180, bagian janda (istri) seperempat jika pewaris tidak ada anak; dan jika ada anak, janda mendapat seperdelapan.
- Pasal 181, apabila pewaris tidak memiliki anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
- Pasal 182, apabila pewaris tidak ada ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan sekandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan itu bersama-sama dengan saudara perempuan sekandung atau seayah dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat 2/3. Bila saudara perempuan itu bersama dengan saudara laki-laki maka bagian saudara laki-laki dua bagian saudara perempuan.
- Pasal 183, menyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
- Pasal 184, menyatakan bahwa bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan hakim atas usul anggota keluarga.
- Pasal 185, menyatakan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya kecuali mereka yang tersebut melakukan pembunuhan (Pasal 173). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
- Pasal 186, menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dari keluarga pihak ibunya.
- Pasal 187, menyatakan bahwa bila pewaris meninggalkan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan.
- Pasal 188, menyatakan bahwa para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan.
- Pasal 189, menyatakan bahwa bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
- Pasal 190, menyatakan bahwa bagi pewaris yang beristri lebih dari satu, maka masing-masing berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya. Sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak ahli warisnya.
- Pasal 191, bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.

Dalam Islam memang dikenal bagian laki-laki lebih besar daripada bagian perempuan, maka dari itu Muhammad ali al-Sabuni menerangkan beberapa alasan dari keterangan tersebut :
1. Seorang perempuan telah tercukupi biaya dan kebuthan hidupnya, dan nafkahnya dibebankan kepada anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, atau yang lain dari kerabatnya.
2. Perempuan tidak dibebani tanggung jawab untuk memberi nafkah atas seseorang, berbeda dengan laki-laki yang dibebani memberi nafkah keluarga dan kerabatnya yang lain.
3. Nafkah laki-laki lebih banyak, kewajiban kebendaannya lebih besar, begitupun dengan kebutuhan materialnya.
4. Laki-laki harus memberi mahar kepada istrinya, dan dibebani memberi nafkah finansial seperti sandang, pangan, dan papan kepada istri dan anak-anaknya.
5. Kebutuhan lain-lain keluarga seperti pendidikan, kesehatah dan kebutuhan lainnya dari istri dan anak-anak dibebankan pada suami.



















KESIMPULAN

Hukum waris dalam KUH Perdata pasal 830 adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Pada dasarnya, waris adalah suatu bentuk kasih sayang seseorang, terutama dari orang yang meninggal kepada yang ditinggalkan. Namun, tidak sedikit kasih sayang tersebut berubah menjadi perpecahan karena pembagian hak waris yang dianggap tidak sama rata.
Hukum waris di Indonesia terdiri dari hukum waris menurut adat, hukum waris perdata barat, dan hukum waris Islam. Dalam setiap hukum waris tersebut membahas tentang pewaris, ahli waris, harta waris, pembagian harta waris, wasiat, dan sebagainya yang berkaitan dengan waris.




DAFTAR PUSTAKA

Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indnesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1986
Kompilasi Hukum Indonesia. Departemen Agama R.I. Jakarta. 2001
Hasbiyallah. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007
Prawirohamidjojo Soetojo. Hukum Waris Kodifikasi. Surabaya: Airlangga University Press. 2005
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. 2001
Tutik Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2006

Teori Gerak Ganda dan Teori Limitasi Hudud

A. PENDAHULUAN
Sejak munculnya reformisme Islam zaman modern lewat abad ke-19, tumpuan pada cara Islam diinterpretasikan dan dipraktiskan semakain ketara. Tafsir Al-Quran merupakan suatu wilayah yang semakin mendesak dalam proses pemecahan masalah umat.
Maka, mau tidak mau reformisme Islam harus memberikan fokus pada corak tafsir yang dominan dalam masyarakat, karena berkepentingan di dalam pembentukan pola pemikiran regresif dan progresif.
Tokoh Islam modern yang peling awal menggaskan corak tafsir dinamis bagi membuka ruang ijtihad semasa dan memecahkan kemandekan pemikiran Islam kontemporer adalah Fazlur Rahman, dalam teorinya yaitu Teori Double Movement (Teori Gerak Ganda).
Kemudian, perdebatan soal penerapan Hukum Islam (syari`ah) di sejumlah nagara sampai sekarang merupakan persoalan yang belum kunjung selesai, salah satunya adalah dalam Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Sejak runtuhnya Khalifah Usmaniyah di bagian barat dunia Islam, serta akibat kolonisasi negara-negara Islam oleh Eropa, Hukum Pidana Islam secara bertahap digantikan oleh Hukum Pidana Eropa.
Hal inilah yang selanjutnya menimbulkan kegelisahan intelektual seorang Muhammad Syahrur, salah seorang Pembaharu pemikiran Islam yang menempatkan Al-Quran sebagai fokus kajiannya dengan pola interpretasi modern. Dalam Memahami Al-Quran, Syahrur termasuk tokoh yang menolak kaum Fundamentalis yang mengkultuskan doktrin generasi awal Islam, tetapi tidak pula termasuk kaum sekularis yang menolak segala warisan Islam. Syahrur lebih menekankan kontekstualisasi sebuah teks dalam kehidupan masa kini. Sehingga kemudian memunculkan sebuah gagasan cerdas untuk menjembatani antara pihak yang pro dan kontra terhadap penerapan hukum Islam melalui konsep Limitasi dalam jinayah (The Limit Thory/Teori Batas).
Maka dalam hal ini, pemakalah akan memaparkan sedikit banyaknya tentang kedua teori tersebut, yaitu Teori Double Movement dan Teori Limitasi Hudud.

B. PEMBAHASAN
1. Teori Double Movement
Ketika syariat Islam dipahami secara simbolik dan direduksi dengan kawasan wajib tutup aurat, diawasi oleh polisi syariat, penerapan hukum cambuk, atau hukum potong tangan, tampaknya tidak relevan dan bahkan kontraproduktif bila diterapkan di Indonesia yang pluralistik ini.
Namun, jika dipahami dengan paradigma liberal (syariat liberal), maka akan menemukan karakternya yang inklusif dan toleran, sekaligus relevan dengan realitas kekinian yang dihadapkan pada isu pluralisme, demokrasi, dan HAM, yang menjadi agenda utama politik dunia global, termasuk di Indonesia. Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: A Sourcebook (1998), memetakan syariat Islam dalam visi liberalnya menjadi tiga.
Pertama, liberal syariah, dalam pengertian bahwa syariat dalam teks tertulis adalah bersifat liberal jika dipahami secara benar. Sikap liberal ini bukan semata-mata pilihan manusia, tetapi perintah dari Tuhan yang termaktub dalam Alquran.
Kedua, silent syariah, dalam pengertian bahwa tidak semua persoalan hidup tertampung dalam syariat. Karena dalam kenyataannya, syariat tidak menyediakan jawaban atau konsep tentang masalah tertentu, sehingga penyelesaiannya diserahkan kepada manusia atau menggunakan mekanisme ijtihad.
Ketiga, interpreted syariah, dalam pengertian bahwa praktik syariat dipahami dan dijelaskan oleh penafsiran manusia. Interpretasi manusia terhadap syariat dilakukan sebagai model kreativitas intelektual terhadap doktrin agama yang memang membutuhkan tafsir karena tidak tercakupnya semua problem kehidupan manusia.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud syariat liberal adalah menafsirkan syariat Islam secara substansial dalam konteks masyarakat kekinian. Perlu dicatat, bahwa kata ‘liberal’ yang dilekatkan pada kata ‘syariat’ sama sekali bukanlah penggagahan, apalagi konspirasi manipulatif terhadap syariat itu sendiri. Melainkan, meminjam terminologi Ulil Abshar Abdalla (2002), menafsirkan syariat Islam secara non-literal, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Perubahan sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan hukum yang terjadi dalam dunia Islam yang berinteraksi dengan dunia internasional non-Islam, selalu melibatkan proses dialektika yang intensif antara great tradition (tradisi besar) pada wilayah alam pikiran, konsep, ide, teori, keyakinan, dan gagasan. Sedangkan little tradition (tradisi kecil) yang merupakan wilayah aplikasi praktis di lapangan dari teori, konsep, ide, keyakinan dan gagasan tersebut dalam wilayah kehidupan konkrit pada budaya dan tatanan sejarah tertentu. Perubahan (change) akan terjadi ketika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong yang besar dibandingkan dengan tradisi keilmuan yang telah ada dan mapan sebelumnya. Jika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong yang lebih kecil dibandingkan kekuatan tradisi keilmuan yang lama, maka yang terjadi adalah tidak adanya perubahan.
Oleh karena itu, perubahan yang sangat mendesak dalam Dunia Islam yaitu pengalihan pemahaman Al-Qur’an dari hukum Islam (Fiqh) yang sifatnya teoritis dan normatif berkisar pada formalisme agama Islam menjadi hukum Islam yang kontekstual sesuai dengan sosiologis legal formal sekarang ini. Kontribusi teori double movement Fazlur Rahman mencoba melakukan terobosan baru dengan merekonstruksi pemahaman terhadap Al-Qur’an yang compatible dengan kehidupan kontemporer melalui metode penafsiran hermeneutika.
Begitu pula pentingnya membedakan antara legal spesifik dan ideal moral yang dikenal dengan istilah gerakan ganda (double movement). Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik adalah ketentuan hukum yang ditetapkan secara khusus. Ideal moral al-Qur’an lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya sebab ideal moral bersifat universal. Dengan ini Rahman berharap agar hukum-hukum yang akan dibentuk dapat mengabdi pada ideal moral, bukan legal spesifiknya karena al-Qur’an selalu memberi alasan bagi pernyataan legal spesifiknya. Langkah yang dilakukan, pertama memperhatikan konteks kesejarahannya baik mikro maupun makro ketika ayat diwahyukan. Dari sini bisa diambil pemahamn yang utuh tentang konteks normative dan historisnya suatu ayat maka timbullah istilah legal specific (praktis temporal) dan moral ide (normative universal).
Kedua, menerapkan nilai dan prinsip umum tersebut pada konteks pembaca al-Qur’an kontemporer. Pendekatan ini oleh Rahman digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat hukum dan sosial. Di sini terlihat keberanjakan Rahman dari metodologi ushul fiqh lama yang cenderung literalistik dan perlunya penguasaan-penguasaan ilmu-ilmu bantu yang bersifat kealaman maupun humaniora agar para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah.
A. Persoalan Pemahaman dan Pendekatan Al-Quran
Dalam pemahaman dan pendekatan Al-Quran ini, Fazlur Rahman memakai Hermeneutika (pemahaman). Metodologi tafsir al-Qur’an Fazlur Rahman dinisbatkan dengan hermeneutika, bukan tafsir, ta’wil dalam pengertian konvensional sebagaimana yang lazim digunakan oleh para mufasir. Rahman sendiri tidak pernah mengklaim jenis hermeneutika yang dianutnya. Namun karena teori interpretasinya menampakkan kebaruan dan progresivitas, para pengamat menggolongkan dalam kajian hermeneutika. Ada tiga kata kunci dalam memahami hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, yakni pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda, dan pendekatan sitetis-logis.
Aplikasi hermeneutika dalam pemahaman Al-Qur'an merupakan sebuah keniscayaan sejarah sebagai sebuah evolusi metodologis dari triadik metode penafsiran yang dikembangkan oleh umat Islam, yaitu tafsir takwil hermeneutika. Artinya, sebagai sebuah perangkat metodologis pembacaan Al-Qur'an, hermeneutika merupakan bagian integral perjalanan panjang sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur'an. Sejumlah gagasan konseptual dalam tradisi hermeneutika seperti keharusan mempertimbangkan konteks sosial pembaca maupun teks, konsep teks itu sendiri, keragaman potensial makna teks, mempertimbangkan kondisi audiens sebagai sasaran teks merupakan kumpulan konsep yang erat kaitannya, bahkan tidak lain merupakan dari istilah-istilah metodologis yang terdapat dalam tradisi kajian 'Ulum Al-Qur'an.
B. Operasi Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman
1. Hukum
Poligami
Poligami merupakan isu yang selalu muncul dalam hukum keluarga. Secara umum ulama Pakistan berpandangan bahwa poligami dibolehkan dalam Islam bahkan dijustifikasi dan ditoleransi oleh al-Qur’an sampai empat istri. Pandangan ini bagi Rahman mereduksi iedal moral al-Qur’an. Praktik ini tidak sesuai dengan harkat wanita yang memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki sebagaimana dinyatakan al-Qur’an. Karena itu, pernyataan al-Qur’an yang membolehkan poligami hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Ada syarat yang diajukan al-Qur’an yang tidak mungkin dipenuhi laki-laki, yakni berlaku adil. Dalam kasus ini, klausa tentang berlaku adil harus mendapatkan perhatian dan niscaya punya kepentingan lebih mendasar ketimbang klausa spesifik yang membolehkan poligami. Jadi, pesan terdalam al-Qur’an tidak menganjurkan poligami, melainkan monogami. Itulah ideal moral yang hendak dituju al-Qur’an.

Potong Tangan
Dalam hukum potong tangan bagi pencuri, menurut Rahman, ideal moralnya adalah memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi. Secara historis-sosiologis, mencuri menurut kebudayaan Arab tidak saja dianggap sebagai kejahatan ekonomi, melainkan juga kejahatan melawan nilai-nilai dan harga diri manusia. Namun sejalan perkembangan jaman, mencuri hanyalah kejahatan ekonomi, tidak ada hubungannya dengan pelecehan harga diri. Karenanya, bentuk hukumannya harus berubah. Mengamputasi segala kemungkinan yang memungkinkan ia mencuri lagi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang lebih manusiawi, misalnya penjara atau denda. Jadi hukum potong tangan adalah budaya Arab, bukan hukum Islam.
2. Metafisika
Tuhan
Dalam interpretasi tentang Tuhan, Rahman merespon dua pemikiran, Barat dan Muslim. Orang Barat banyak yang menggambarkan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai suatu konsentrasi kekuatan semata, bahkan sebagai kekuatan yang kejam; raja zalim. Di kalangan Muslim Mu’tazilah dan Asy’ariyah telah mereduksi makna hubungan Tuhan dan manusia. Mu’tazilah memberi peran yang besar kepada manusia dan mengecilkan peran Tuhan sehingga manusia tampak benar-benar ”bertanggungjawab”. Asy’ariyah memandang manusia tidak memiliki kekuatan sama sekali, sehingga Tuhan tampak sebagai yang maha kuasa. Sementara kaum sufi menganut paham pantheisme, semua adalah Tuhan.
Menurut Rahman, ada tiga hal yang sering ditekankan al-Qur’an sebagai upaya pemberian peringatan kepada manusia, (1) segala sesuatu selain Tuhan bergantung kepada tuhan, (2) Tuhan adalah Maha Pengasih, dan (3) aspek-aspek ini mensyaratkan hubungan yang tepat antara Tuhan dan manusia, hubungan yang dipertuan dan hamba-Nya, yang pada akhirnya mengkonsekuensikan hubungan yang tepat pula di antara sesama manusia.
C. Implikasi Metodologis Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman
- Menyuguhkan metodologi baru dalam pengembangan keilmuan Islam
Hermeneutika Rahman adalah hermeneutika yang memadukan akar tradisional Muslim dengan temuan hermeneut Barat modern. Dinamakan hermeneutika al-Qur’an karena hermeneutika difungsikan sebagai alat untuk menafsirkan kitab suci al-Qur’an.
- Menggeser paradigma dari wilayah metafisik-teologis ke wilayah etis-antropologis
Teori gerakan ganda membuat hermeneutika Rahman menebarkan nilai-nilai etis karena ideal moral menjadi tujuan utamanya.
- Menegakkan etika sosial dalam Islam modern.
Pergeseran paradigma dari dari wilayah metafisik-teologis ke wilayah etis-antropologis merupakan pembaharuan atas tujuan etis; tujuan yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai mahluk luhur.
D. Telaah atas Teori Qiyas dan Double Movement
Tradisi hukum Islam (fiqh) mengenal adanya sumber-sumber hukum yaitu al-Qur’an,
sunnah , ijma’ dan qiyas. Untuk menjelaskan tentang proses qiyas, asy-Syafi’i menegaskan sekurang-kurangnya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, jika Allah dan rasulnya telah mengharamkan sesuatu secara tersurat atau menghalalkannya karena alasan (‘illat/ma’na) tertentu, kemudian kita dapatkan hal serupa tetapi tidak ada nash khusus di dalam al-Qur’an atau Sunnah, maka kita bisa memberikan hukum haram atau halal berdasarkan fakta bahwa hal itu mempunyai essensi (‘illat) yang sama dengan yang telah ditetapkan status hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah tadi. Kedua, dalam hal dua kasus yang hampir-hampir sama, maka analogi (qiyas) harus didasarkan atas kemiripan yang paling lengkap, terutama dari sudut lahiriah. Dalam hubungan ini, landasan penetapan hukum model qiyas asy-Syafi’i memiliki kesamaan secara struktur logika dengan cara berfikir Aristoteles.
Akan tetapi, landasan penemuan ‘illat hukum harus didasari pada apa yang ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Dalam konteks ini, peran akal ada tetapi dibatasi oleh peran teks.
Kesinambungan antara peran akal dan teks pada periode kontemporer ditunjukan oleh satu tesis yang dikeluarkan oleh Fazlur Rahaman tentang gerak ganda (double movement) yang digunakan untuk membaca dan memahami al-Qur’an, secara khusus hukum Islam.
Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu “ideal moral” dan ketentuan legal spesifik al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, dalam berbagai penjelasannya, Rahman mengusulkan agar dalam memahami pasan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang sehingga al-Qur’an dapat dipahami dalam konteks yang tepat. Aplikasi pendekatan kesejarahan ini telah membuat Rahman menekankan akan pentingnya tujuan atau “ideal moral” al-Qur’an dengan legal spesifiknya.
“Ideal moral” yang dituju al-Qur’an lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifik. Melihat hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa sekalipun Rahman berusaha untuk mengkontektualisasikan ajara al-Qur’an, termasuk ajaran hukum, tetapi ia tidak lepas dari ketergantungan terhadap teks. Karena “ideal moral” adalah prinsip umum yang dibangun oleh al-Qur’an sebagai teks suci itu sendiri.
Teori double movement di atas maupun teori qiyas dalam tawarannya memiliki logika berfikir masing-masing, namun hal yang tidak dapat dinafikan bahwa kedua teori ini memiliki kesamaan dalam hal memperlakukan teks agama, yaitu mengarahkan suatu pemikiran tentang substansi teks. Hal ini menarik untuk dikaji karena menurut asy-Syatibi yang dikutip Danusiri bahwa golongan pola pikir gabungan antara tektualis dan kontekstualis (mungkin juga rasionalitas) merupakan golongan yang matang intelektualnya (rāsikhun/profesional)dalam mengetahui maksud syara’.

2. Teori Limitasi Hudud
Umat Islam telah berada dalam kehidupan yang sarat dengan persoalan yang kompleks, perubahan nilai yang terjadi akibat pengaruh globalisasi yang tak terelakkan mengharuskan pengkajian kembali beberapa aspek teologis dan kaidah Islam baik tentang hukum, negara, ataupun hal-hal fundamental lainnya. Aturan-aturan Islam yang digali dan diperoleh melalui ijtihad oleh para tokoh muslim pada abad pertengahan banyak yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Hal ini logis karena koridor-koridor yang telah ditetapkan oleh para tokoh muslim ketika itu tak lepas dari situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Oleh karenanya maka diperlukan ijtihad untuk mengakomodasi semua permaslahan kontemporer yang belum terumuskan dalam ijtihad ulama terdahulu.
Dalam rangkaian perbincangan di sekitar masalah jinayah hampir semua literatur fikih Islam menyajikan pembahasan tentang bughah (pemberontakan). Pendapat Syahrur mengenai teori hudud (limit) menarik untuk dibahas berkaitan dengan permasalahan itu. Syahrur memahami bahwa al-Qur’an memiliki muatan absolut tetapi dengan pemahaman yang relatif sehingga senantiasa salih li kulli zaman wa makan. QS. al-Hujurat ayat 9 menyebutkan bahwa hukuman bagi pelaku bugahh adalah hukuman mati. Persoalan yang muncul kemudian apakah hukuman mati itu diberlakukan sama kepada semua pelaku baik otak/dalang maupun orang yang hanya ikut-ikutan? Hal ini menarik karena Islam sebagai aturan memiliki dimensi yang luas sehingga memungkinkan manusia untuk memepergunakan akalnya secara maksimal tetapi tetap dalam batasan nilai moral luhur yang menjadi spirit Islam itu sendiri.
Syahrur, seorang ilmuwan sains berkebangsaan Syiria memiliki sebuah teori kontroversial yakni Teori Batas (The Theory Of Limit). Melalui teori ini, ia mencoba melakukan pembacaan ulang terhadap al-Qur’an. Syahrur memberikan interpretasi berbeda mengenai terma-terma penting dalam al-Qur’an yang kemudian membawanya untuk merumuskan teori hudud ini. Istinbat hukum yang dilakukan Syahrur menggunakan metode tartil, yaitu dengan mengumpulkan dan menganalisis ayat-ayat yang memiliki satu tema kemudian menarik kesimpulan berdasarkan analisisnya itu. Berdasarkan metode ini, Syahrur berpendapat bahwa ajaran Islam memiliki sifat istiqamah (lurus) dan hanifiyyah (fleksibel). Salah satu teorinya yang penyusun pakai dalam menganalisis hadd bugahh adalah teori batas maksimal (halatu al-hadd al-a’la). Dalam teori ini dijelaskan bahwa manusia dimungkinkan untuk melakukan ijtihad dengan memberi hukuman lebih ringan daripada yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an.
Teori ini sempat menggemparkan dunia Arab karena dianggap menyimpang dari asumsi kebenaran yang selama berabad-abad diyakini oleh masyarakat Syiria dan Arab. Secara terminology, kata hudud merupakan bentuk plural dari kata Al-hadd (batas/hukum). Dalam kecenderungan ahli fiqh (fuqaha), hudud diartikan sebagai hukuman yang sudah ditentukan Allah.
Maksud dari hukuman yang telah ditentukan Allah adalah bahwa hukuman itu sudah dibatasi, sudah ditentukan, tidak boleh dikurangi atau ditambah. Dengan begitu, hudud hanya diketahui dari teks eksplisit nash (ketetapan Allah), tidak boleh didasarkan atas makna implisit nash maupun ijtihad (pemikiran manusia). Dengan kata lain, hudud adalah hukuman yang sudah secara jelas ditetapkan oleh teks (nash Al-Qur’an dan sunnah) yang berlaku secara mutlak.
Dalam hal ini, Syahrur mempunyai pemahaman berbeda dengan ’pakem’ fuqaha. Syahrur memaknai hudud adalah sebagai batasan, yang dapat diubah sesuai kondisi dan bukan ketentuan mutlak. Artinya, bahwasanya segala ketentuan yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an dan sunnah merupakan batasan dari Allah. Sehingga, batasan itu dapat saja di geser untuk memperoleh ’maslahah’ terhadap situasi zaman modern ini.

Pemahaman Syahrur terhadap risalah (ketetapan hukum) Muhammad, berbeda dengan risalah Nabi Musa atau Isa. Karakteristik khusus risalah Nabi Muhammad adalah sifatnya yang hududi, bukan ayni (hukum limitatif). Dengan demikian, risalah tersebut berisi hukum-hukum hanif (fleksibel) yang mampu berinteraksi dengan tuntutan situasi dan kondisi lokal-temporal-spasial. Sehingga, sudah seharusnya hukum Islam direkontekstualisasikan terhadap keadaan yang sedang berlangsung.
Pertanyaanya, apakah dapat diaplikasikan secara utuh di Indonesia? Tentunya tidak. Dalam kerangka ini, Dr. Muhyar Fanani dalam buku tugas akhir doktornya ini memberikan terobosan spektakuler dalam penyempurnaan teori hudud Syahrur. Sehingga teori ini dapat dieplikasikan secara lebih efektif di Indonesia.
Dalam buku ini Muhyar mengkritisi teori Syahrur dan menyempurnakanya. Muhyar menilai bahwa teori hudud Syahrur tidak mampu keluar dari hegemoni positivisme-nomotetik yang pada akhirnya akan melahirkan ilmu yang monologal dan sulit menumbuhkan emansipasi masyarakat karena masyarakat masih didominasi oleh positivisme ilmiah (logika nomotetis), jika ini dibiarkan, jutru akan menumbuhkan otoritarianisme, sebab tradisi positivisme mengandung kepentingan teknis, yakni mengontrol dan mendominasi.
Dari sini Muhayar membuktikan kemampuan akademiknya dengan melahirkan teori hudud kritis. Teori ini memberikan perubahan pada hudud Syahrur yang pada dasarnya megedepankan ilmu-ilmu kealaman dan dominasi para ilmuan dalam menetukan hukum dengan metodologi ilmu-ilmu humaniora, terutama metode hermeneutika yang secara tegas membiarkan subyek (ilmuan) meleburkan diri dengan obyek (masyarakat) dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan hukum setelah hudud Allah ditemukan.
Diantara perubahan Muhyar adalah melengkapi teori ini dengan logika ideografis dan refleksi-diri, yaitu menafsirkan makna dengan tindakan-tindakan sosial, dan bukan menjelaskan menurut sebab-akibat. Dengan demikian, subjek dapat menguak makna, bukan sekedar menemukan kausalitas yang niscaya. Dalam kerangka ini, teori hudud kritis menuntut ilmuan (subjek) untuk berpartisipasi dalam objek. Teori hudud yang telah diperbarui inilah yang akan melahirkan masyarakat madani.
Inti dari masyarakat madani adalah adanya emansipasi masyarakat sehingga masyarakat memiliki kebebasan dalam berkehendak, berkesadaran, dan bebas dari segala bentuk distorsi komunikasi akibat dari adanya dominasi pihak luar yang membelenggu. Dalam kerangka ini, Muhyar dalam ‘hudud kritisnya’ menggunakan pendekatan historis dan interpretatif-kritis.
Selain itu, ia juga menambah metodenya dengan refleksi-diri. Dengan demikian, teori ini akan mampu memahami manusia dari dimensi interaksi sosial-budaya, baik horisontal (intersubjektif) dan vertikal (kesejahteraan dan aspirasi) dan melalui analisis reflektif sehingga mampu membebaskan manusia dari belenggu ideologis atau struktur politik yang mengurungnya.
A. Pemikiran Muhammad Sahrur Syahrur tentang Teori Batas (The Limit Theory)
Latar belakang pendidikan Muhammad Syahrur yang berbasis teknik, menghantarkan pada penelitiannya sangat kental mengedepankan sifat-sifat empiris, rasional dan ilmiah. Menurutnya, pemikiran-pemikiran dasar metodologis ilmiah memberikan hasil yang berbeda dibanding produk-produk pemikiran sebelumnya (salaf).
Gagasan pemikiran Syahrur ini secara umum ingin mencari solusi alternatif terhadap penerapan hukum pidana Islam, yang selama ini implikasi pemahaman mayoritas fuqaha membawa dampak pada penerapannya yang kaku. Ia memandang bahwa agama islam adalah agama fitrah dan hanafiyyah senantiasa mengalami perubahan. Syahrur menemukan bahwa terdapat dua aspek pemahaman keislaman yang dilupakan selama beberapa masa, yaitu; al-istiqamah dan al-hanifiyyah. Melalui analisis linguistik, Syahrur menjelaskan bahwa kata al-hanif berasal dari kata (musytaq) dari hanafa yang berarti bengkok, melengkung (hanafa); atau bisa pula dikatakan untuk orang yang berjalan di atas dua kakinya (ahnafa) dan atau berarti orang yang bengkok kakinya (hanufa). Kata ini juga dibandingkan dengan kata janafa, yang berarti condong kepada kebaikan. Adapun kata al-Istiqamah, musytaq dari kata “qaum” yang memiliki dua arti: (1) kumpulan manusia laki-laki dan (2) berdiri tegak (al-intisab) dan atau kuat (al-‘azm). Berasal dari kata al-intisab ini muncul kata al-mustaqim dan al-istiqamah, lawan dari melengkung (al-inhiraf); sedangkan dari al-‘azm, muncul kata al-din al-qayyim (agama yang kuat dalam kekuasaannnya); tentang makna kuat ini seperti dalam Q. Al-Nisa’: 34 dan al-Baqarah: 255.
Setelah ia menemukan dua kata kunci, yakni al-istiqamah dan al-hanifiyyah, ia memperkenalkan apa yang disebutnya “teori limitasi” atau teori batas (nazariyah al-hudud). Asumsi dasarnya adalah bahwa Allah dalam menetapkan hukum di dalam Al-Qur’an ada batasan-batasan dinamis dan bisa berubah. Allah SWT Di dalam Al-Qur’an menetapkan konsep hukum maksimum dan minimum (al-istiqamah / curvature), dan manusia bergerak dari dua batasan tersebut (al-hanifiyyah/ straghtness).Atas dasar pemikiran ini Syahrur yakin bahwa Islam akan tetap sesuai dengan perkembangan tata kehidupan manusia serta mampu merespon atas berbagai problem yang muncul kapan dan di manapun saja. Terkait dengan teori batas (teori limitasi) yang dikemukakannya, Syahrur menjelaskan enam model teori batas, yaitu:
1. Batas minimal;
2. Batas maksimal;
3. Batas maksimal dan minimal sekaigus;
4. Batas minimal dan maksimal sekaligus tetapi dalam satu titik koordinat;
5. Batas maksimal dengan satu titik yang cenderung mendekati garis lurus tapi tidak ada persentuhan;
6. Batas maksimum positif dan tidak boleh dilampaui, batas minimum negatif boleh dilampaui.
Mengacu pada Teori batas (limit Theory) hukum Islam diatas, Syahrur kemudian menyatakan bahwa hukuman dalam pidana Islam (jinayat) yang dianggap kejam dan tidak berprikemanusiaan seperti potong tangan atau hukuman badan (sehingga akhirnya menimbulkan pro dan kontra), pada dasarnya bukanlah hukuman yang serta merta dapat diberlakukan seketika. Sebab sebenarnya hukuman-hukuman tersebut ialah uqubat maksimal dalam hudud. Artinya hukuman demikian seharusnya dapat diganti dengan hukuman yang lain, seperti hukuman penjara misalnya. Karena mungkin saja terpidana belum layak atau pantas untuk mendapatkan hukuman maksimal tersebut, setelah mempertimbangkan lebih jauh kondisi objektif yang ada.
Misalnya, jika dilihat tentang ketentuan tangan yang harus dipotong juga berbeda-beda sesuai dengan pemahaman mereka dalam memberikan interpretasi terhadap makna yadd (tangan). Sehingga dari interpretasi akhirnya melahirkan pendapat bahwa tangan yang harus dipotong adalah sampai pergelangan tangan, ada juga yang berpendapat sampai siku, ada pula yang berpendapat sampai lengan, tetapi ada juga yang berpendapat cukup sampai pangkal jari, sesuai pemahaman mereka terhadap arti kata “yadd”. Dengan demikian persoalan seberapa tangan seseorang harus di potong juga masih terjadi perbedaan yang tajam. Implikasi dari perbedaan ini akan berbuntut pada penetapan yang tidak pasti pula, sehingga kemungkinan salah dalam menetapkan sangat memungkinkan sekali. Sedangkan menetapkan hukum yang masih belum jelas landasannya akan sangat membahayakan.

B. Implikasi Teori Limitasi Syahrur pada Penerapan Hukum Islam
Dengan munculnya karya monumental Syahrur, yang mendasarkan basis pemikirannya pada teori limitasi ini, kini Syahrur termasuk sederetan orang yang digolongkan sebagai pemikir Islam liberal. Keliberalnya dalam berfikir nampak dalam prinsip hukum Islam yang dibangunnya, yakni al-Islam salih likull zaman wa makan (bahwa Islam senantiasa selaras dengan perkembangan waktu dan tempat). Konsekuensi dari pemikirannya ini membawanya pada upaya serius dalam melakukan pembaharuan hukum Islam melalui teori limitasinya. Konsep limitasi Syahrur, yang dijadikan sebagai kerangka metodologi dalam memahami persoalan jinayah, paling tidak akan ikut memberikan alternatif pemecahan terhadap kebekuan persoalan ini.
Persoalan jinayah yang oleh mayoritas fuqaha’ dipahami sebagai ayat qath’i telah menjebak pada produk hukum yang kaku dan terkesan tidak mengikuti perkembangan jaman. Dengan konsep limitasi ini, paling tidak muncul alternatif pemecahan untuk mencari solusi dalam memahami persoalan jinayah ini. Teori litimasi yang dibangun Syahrur merupakan interpretasi yang berangkat dari sebuah kesadaran bahwa jarimah hudud (sebagaimana para fuqaha definisikan), memiliki landasan sangat kuat di dalam Al-Qur’an, sehingga implikasinya hukum jarimah hudud sulit di hapuskan. Karena itu, menurutnya yang dapat dilakukan adalah; pertama, meredifinisi versi hukuman hudud dan kedua, melakukan pembatasan katagori yang termasuk dalam hudud. Dengan demikian Syahrur termasuk mendukung suatu kebijakan hukum hudud yang manusiawi yang didasarkan atas penalaran dengan berusaha menyelaraskan antara kebijakan-kebijakan pengambilan hukum tersebut dengan teks-teks Al-Qur’an yang menurut Syahrur termasuk kategori ayat haddiyah (ayat yang menerima limitasi).
Perumusan Syahrur dalam pembagian ayat-ayat qath’i menjadi ayat ainiyah dan haddiyah misalnya, merupakan suatu interpretasi yang patut mendapatkan apresiasi, karena telah membuka kita pada suatu penafsiran yang tidak berhenti. Itulah sebabnya ia mengemukakan bahwa ayat muhkamat menurut Syahrur dikategorikan sebagai ayat yang masih menerima ijtihad, sebagaimana ayat-ayat mutasyabihat masih menerima ta’wil.
Menurut Syahrur, karena hudud merupakan hukuman yang cukup keras dan kejam yang bisa mengandung konsekuensi-konsekuensi politik negatif dalam aplikasinya, maka hudud sebaiknya dibatasi pada jenis pelanggaran yang hukumannya disebutkan secara khusus di dalam Al-Qur’an. Menurut Syahrur hudud hanya dibatasi empat jenis pelanggaran, yaitu sariqah, hirabah, pembunuhan, zina dan qazaf. Sedangkan untuk meredefinisi versi hukuman hudud, Syahrur memahaminya dengan teori batas. Ayat-ayat hudud yang selama ini tidak menerima interpretasi karena dipandang sebagai ayat qath’i oleh Syahrur dipahami sebagai ayat haddiyah, yaitu suatu ayat yang bisa menerima limitasi dan perubahan. Kesalah pahaman para Ulama memahami ayat haddiyah dengan memposisikan menjadi ayat ‘ainiyyah (ayat yang mesti dipahami apa adanya), menurut Syahrur telah menjebak mereka dalam kekeliruan yang fatal.
Dalam memahami hukum tindak pidana pencurian misalnya, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah: 38, ia pahami dengan teori batas maksimal, karena ayat ini dikategorikan sebagai ayat hadiyyah. Pada ayat ini Allah menjelaskan bagi pelaku pencurian dengan hukuman potong tangan sebagai batas hukuman maksimal. Tentunya bagi tindak pidana pencurian yang tidak mengharuskan ditetapkan hukuman maksimal, maka bisa ditetapkan hukuman yang lebih ringan. Selanjutnya ia mengusulkan agar para fuqaha atau pelaksana hukum ketika hendak menerapkan hadd Allah yang berupa batasan maksimal harus benar-benar memahami definisi dan karakteristik yang didasarkan pada situasi dan kondisi yang melingkupi persoalan tindak pidana itu terjadi.
Implikasi dari konsep limitasi yang digunakan untuk memahami jinayah ini paling tidak pertama; akan memberikan ruang gerak dan kelonggaran bagi para yuris muslim serta praktisi hukum melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat hudud, yang selama ini dianggap sudah final dan jelas oleh jumhur fuqaha, dan memandang tidak perlu lagi ijtihad. Interpretasi Syahrur dalam hukum pidana Islam (jinayah), membawanya pada keputusan penerapan hukum Islam tidak kaku, karena sifatnya yang menerima perubahan (hanif), tetapi tetap berpegang pada ketetapan yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur’an (al-istiqamah). Sifat kaku yang terdapat pada jarimah hudud, justru akan mengakibatkan hukum Islam sulit untuk diterapkan. Karena disamping persoalan internal umat Islam yang masih mempersoalkan tentang efektifitas dan ketetapan penerapan hukum jarimah hudud, ia juga akan berbenturan dengan kesepakatan-kesepakatan regional dan internasional yang dengan gigih menyuarakan demokratisasi dan perlindungan Hak-Hak Asai Manusia.
Implikasi kedua; akan memberikan kesempatan kepada para yuris muslim dan praktisi hukum (Islam) untuk menetapkan kembali hukuman bagi pelaku pidana Islam (hudud), sesuai dengan kondisi obyektif yang ada serta ruang dan waktu yang menyertainya. Sehingga diharapkan rumusan-rumusan hukum pidana Islam ini lebih menedepankan aspek-aspek kemanusiaan, edukatif dan keadilan.
C. Keunggulan Teori Batas
Sahrur memberikan satu sumbangan besar sekaligus penawaran baru dalam ushul fiqh; Rekonstruksi metodologi ijtihad. Sebagian besar ayat-ayat hudud telah di klaim sebagai ayat muhkamat yang berisi penafsiran tunggal. melalui teori batasnya, sahrur mengajak untuk menggunakan qiraah mutakarirrah (pembacaan ulang).
Teorinya juga mempermudah kita melihat hukum Allah dengan lensa yang lebih jelas, yaitu dengan batas maksimal, minimal, juga terbukanya manusia untuk berijtihad terhadap hukum yang ada dalam al Quran yang sebelumnya tidak elastis. Dalam masalah warisan misalnya, dengan teori barunya ini perempuan menjadi punya hak yang sama seperti laki-laki, padahal ulama’ dulu sudah tidak mau merubah takaran 2 banding 1 untuk laki-laki.
D. Kritik atas Teori Batas
1. kurang kejelasannya pengelompokan atau penempatan suatu ayat dalam enam teori batas, khususnya al Hadd al Adna dan al Hadd al A’la. Hukuman pencuri misalnya. Sahrur memasukkanya dalam teori kedua (Al-Hadd al-A’la) yang hanya mempunyai batas maksimum. Hukuman pencuri tidak boleh melebihi potong tangan, bahakan boleh dikurangi karena mempertimbangkan keadaan pencuri. Lalu, bagaimana jika ada yang mencuri dokumen (sangat) penting negara, apakah hanya di potong tangan. Dalam kasus ini, mungkin saja orang lain akan memasukkanya ke teori pertama (al Hadd al Adna) yang hanya punya batas minimal, dalam hal ini potong tangan.
2. Sahrur tidak bisa lepas dari kerangkeng tektualisme. Semua penawarannya, terutama teori batas berangakat dari teks. Permasalah pokok atas bahasa, menjadikan teori ini tetap terpenjara dalam aksara Alquran. Ia hanya bermain dalam kata-kata alquran. Menganilisis kalimat dan ayat lalu memasukannya dalam teori. Mungkin ini akibat dari keahliannya dalam ilmu eksact yang bersifat kaku.

C. PENUTUP
Kesimpulan
Logika teori double movement yang dikemukakan Fazlur Rahman adalah perpaduan antara logika induktif dan deduktif. Pada gerakan pertama adalah logika induktif yang bertujuan untuk menemukan “tujuan” atau “ideal moral” yang dalam pelacakannya ternyata merupakan usaha penyempurnaan terhadap qiyas yang sudah ada (karena qiyas yang sudah ada tidak dapat menemukan ‘illat hukum dengan klasifikasi yang sistematis). Pada gerakan pertama, tentunya, Rahman terpengaruh oleh model berfikir qiyas, karena ia pun menjelaskan prosedur qiyas yang menurutnya belum sempurna. Selanjutnya, gerak kedua adalah model logika deduktif, yaitu menarik hal yang umum sebagai hasil dari gerak pertama kepada hal-hal yang khusus yang sedang dihadapi masyarakat sekarang dengan mempertimbangkan kondisi objektif.
Syahrur, seorang ilmuwan sains berkebangsaan Syiria memiliki sebuah teori kontroversial yakni Teori Batas (The Theory Of Limit). Melalui teori ini, ia mencoba melakukan pembacaan ulang terhadap al-Qur’an. Syahrur memberikan interpretasi berbeda mengenai terma-terma penting dalam al-Qur’an yang kemudian membawanya untuk merumuskan teori hudud ini.
Implikasi dari konsep limitasi yang digunakan untuk memahami jinayah ini paling tidak pertama; akan memberikan ruang gerak dan kelonggaran bagi para yuris muslim serta praktisi hukum melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat hudud. Implikasi kedua; akan memberikan kesempatan kepada para yuris muslim dan praktisi hukum (Islam) untuk menetapkan kembali hukuman bagi pelaku pidana Islam (hudud), sesuai dengan kondisi obyektif yang ada serta ruang dan waktu yang menyertainya. Sehingga diharapkan rumusan-rumusan hukum pidana Islam ini lebih menedepankan aspek-aspek kemanusiaan, edukatif dan keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
http://teori ganda/Tugas-Online.htm
http://teori ganda/aplikasi-teori-double-movement-fazlur.html
http://teori ganda/pembaruan-interpretasi-fazlur-rahman_126.html
http://teori ganda/HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FAZLUR RAHMAN « Jeryronggo.htm
http://teori limitasi/gdl.php.htm
http://abuenadlir.blogspot.com/2010/02/teori-limit-m-syahrur-muhammad-abu.html
http:// teori limitasi/index.ph.htm
http://www.docstoc.com/docs/36656310/Arah-Baru-Metode-Pemikiran-Hukum-Islam

Hukum dan Masyarakat

PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri dan saling bergantung terhadap individu-individu yang lain dalam usaha melestarikan kehidupannya. Dalam hal ini, Aristoteles menyebutkan bahwa manusia adalah insan politik, yaitu manusia tidak hidup sendiri, bukan pula hanya merupakan bagian dari sebuah kelompok kecil, melainkan menjadi bagian dari suatu komunitas yang lebih besar, yaitu masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, perlu adanya suatu tatanan hukum untuk menciptakan hubungan-hubungan yang tetap, tertib dan teratur antar individu-individu dalam masyarakat tersebut. Dan yang lebih penting adalah bagaimana cara mengatur kegiatan dalam masyarakat untuk menentukan dan melaksanakan tujuan bersama.

PEMBAHASAN
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum dan masyarakat bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Di mana suatu masyarakat itu berada, maka di situlah hukum ditegakkan.
A. Pengertian
1. Hukum
Para ahli hukum berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian hukum. Hal ini disebabkan karena beragamnya sudut pandang yang diambil. Berikut pendapat beberapa para ahli hukum tersebut :
- Prof. Mr. E.M. Meyers dalam bukunya “De Algemene bergrippen van het Burgerlijk Recht”
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melaksanakan tugasnya.

- J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woejono Sastropranoto, S.H.
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan yang pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu hukuman tertentu.
- S.M. Amin, S.H.
Hukum merupakan kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dengan tujuan mewujudkan ketertiban dalam pergaulan manusia.
Dari beberapa pendapat para ahli sarjana hukum diatas maka dapat disimpulkan bahwa hukum adalah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, yang dibuat oleh pihak yang berwajib, bersifat memaksa dan terdapat sanksi tegas bagi siappa saja yang melanggarnya, yang bertujuan menciptakan kehidupan yang tertib, tentram dan nyaman.
2. Masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial, dimana ia tidak dapat hidup sendiri, akan tetapi bergantung kepada individu-individu lainnya. Hidup bersama atau hidup bermasyarakat adalah sedemikian penting bagi manusia, sehingga sikap kebersamaan tidak dapat dipisahkan untuk selamanya. Manusia dapat dikatakan utuh dan sempurna bila ia hidup bersama manusia lainnaya.
Seperti halnya pengertian hukum, terdapat beberapa pendapat pula tentang pengertian masyarakat :
a. Maclver dan Page dalam bukunya “Society, an Introductory Analysis”
Masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial. Dan masyarakat selalu berubah.
b. Koentjaraningrat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Maka dapat disimpulkan, bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama dalam jangka waktu yang lama, yang melakukan kerjasama melalui ikatan tertentu untuk menuju tujuan tertentu sehingga terciptanya suatu kebudayaan (adat istiadat).
B. Ruang Lingkup
1. Pembuatan Hukum
Di dalam hubungan dengan masyarakat di mana pembuatan hukum itu dilakukan, orang membedakan adanya beberapa model, sedangkan pembuatan hukumnya merupakan pencerminan model-model masyarakatnya. Chambliss dan Seidman (Law, Oreder. :17,56) membuat perbedaan antara dua model masyarakat.
Model yang pertama adalah masyarakat yang sedikit sekali mengenal konflik. Yang mana dalam hal ini berdirinya masyarakat bertumpu pada kesepakatan di antara para warganya. Maka pembuatan hukum dalam masyarakat seperti itu, merupakan pencerminan nilai-nilai yang disepakati oleh warga masyarakat.
Model yang kedua adalah masyarakat yang mempunyai ciri perubahan dan konflik-konflik sosial, bukan kemantapan dan kelestarian. Di sini, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat berada dalam konflik satu sama lain, sehingga keadaan ini juga akan tercermin dalam pembuatan hukumnya.
Seirng dengan perkembangan zaman, mengikuti pemolaan kehidupan sosial dewasa ini, maka pembuatan hukumnya harus berhadapan dengan masalah pengelolaan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dan bertentangan.
2. Bekerjanya Hukum di Bidang Pengadilan
Dilihat dalam kaitan sosialnya, maka setiap pengadilan itu merupakan respons terhadap susunan masyarakat yang menjadi landasannya. Pengadilan di sini dimaksud sebagai pranata penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu masyarakat.
Jika masyarakat tidak dapat menyelesaikan permasalahannya dengan mufakat, maka pengadilan bertindak dalam hal tersebut. Pengadilan menerima tugas-tugas yang harus diselesaikan yang datangnya dari masayarakat. Yang kemudian diolah menghasilkan suatu keputusan untuk masyarakat yang harus dipatuhi.
3. Pelaksana Hukum
Hukum bukan merupakan suatu hasil karya seni yang diciptakan untuk dinikmati oleh orang yang mengamatinya. Tetapi hukum diciptakan untuk dijalankan. Hukum ada, karena manusia hidup bersama-sama. Jika manusia hidup sendiri, ia tidak memerlukan hukum.
Dengan perkataan lain, hukum hanya dapat berjalan melalui manusia. Manusialah yang menciptakan hukum, dan manusialah yang menjalankan hukum tersebut, serta untuk kepentingan dan kelestarian hidup manusia pulalah hukum tersebut dijalankan.
4. Hukum dan Nilai-Nilai di dalam Masyarakat
Nilai-nilai dalam masyarakat merupakan bentukan masyarakat sebagai hasil interaksi antarwarga masyarakat, bukan bawaan dari lahir. Baik berupa cara berpikir atau bertindak yang berfungsi sebagai pemersatu masyarakat.
Dalam hal ini hukum sebagai kontrol sosial berfungsi untuk menindak tegas setiap pelanggaran terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hukum mencoba untuk menetapkan pola hubungan antar manusia dalam merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat.
C. Relasi antara Hukum dan Masyarakat
Setiap manusia memiliki sifat, watak, dan kehendak sendiri-sendiri. Namun di lain pihak, mereka perlu mengadakan hubungan kerjasama, tolong-menolong, dan bantu-membantu untuk memperoleh keperluan-keperluan mereka.
Sering kali keperluan-keperluan mereka searah dan sepadan, maka dalam melakukan kerjasama tujuan manusia untuk memenuhi keperluan tersebut dapat segera tercapai. Namun sering kali pula keperluan-keperluan mereka satu sama lain bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian dan perselisihan yang mengganggu keserasian hidup.
Jika ketidakseimbangannya hubungan antar individu tersebut dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perselisihan hingga perpecahan pada masyarakat. Oleh karena itu, dalam hal ini masyarakat membutuhkan sesuatu yang dapat mengatur dan mengikat setiap tingkah laku manusia serta perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya.
Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh berbagai lembaga secara bersama-sama, seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan sahamnya dalam menciptakan ketertiban itu . Dan salahsatu dari norma yang menciptakan ketertiban dalam masyarakat tersebut adalah hukum.
Dengan sadar atau tidak, manusia dipengaruhi oleh peraturan-peraturan hidup bersama yang mengekang hawa nafsu dan mengatur perhubungan manusia. Peraturan-peraturan hidup itu memberi ancer-ancer perbuatan mana yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus dihindari.
Jika pada kenyataannya, tingkah laku manusia tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan bersama, maka hukum bertindak memberikan sanksi terhadap pelanggarnya sebagai pemberian efek jera dan penyesalan untuk tidak mengulangi hal tersebut.
Setelah hukum itu ada, maka perlu adanya kesadaran hukum. Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan (Scholten, 1954: 166).
Dalam kesadaran hukum tersebut, perlu adanya sikap toleransi. Karena setiap manusia mempunyai hak, dan hak mereka dibatasi oleh hak orang lain. Dari sinilah ketertiban masyarakat akan tercipta, karena dalam keadaan sadar jika seseorang mengganggu hak orang lain dia akan menyadari bagaimana sakitnya jika haknya digangu oleh orang lain.
Menurut Sudikno Mertokusumo , di dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya hukum baru dipersoalkan apabila justru hukum tidak terjadi, apabila hukum tidak ada, atau kebatilan. Kalau segala sesuatu berjalan dengan tertib, maka tidak akan ada orang yang mempersoalkan tentang hukum. Baru kalau terjadinya pelanggaran, sengketa, bentrokan, maka dipersoalkan apa hukumnya, siapa yang berhak, siapa yang benar, dan sebagainya.
D. Contoh dalam Masyarakat Muslim Indonesia
Islam memerintahkan untuk mengatur masyarakat yang bersandar kepada hukum untuk memelihara adanya persamaan dan keharmonisan. Keanggotaan dalam keluarga berkaitan dengan keanggotaan dalam masyarakat, sebagai sebuah sistem sosial yang besar, menurut tatanan persaudaraan seagama.
Contoh kasus masalah hukum kewarisan dalam Islam. Setiap manusia pasti akan mati, dan secara langsung semua harta akan berpindah kepada ahli warisnya. Bagaimana masalah pembagian hak waris ini jika tanpa adanya hukum?
Jika dalam hal pembagian waris tersebut setiap individu mempunyai tujuan yang sama yaitu musyawarah mufakat, maka masalah pembagian waris tersebut akan cepat terselesaikan.
Namun, telah kita ketahui manusia memiliki sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri, yang selalu merasa tidak puas pada setiap yang ia peroleh. Pada saat keinginan masing-masing dipertahankan tanpa adanya musyawarah mufakat, perselisihan dan perpecahan antar anggota keluarga pasti akan terjadi.
Di sinilah letak pentingnya keberadaan hukum yang mengatur dalam masalah pembagian waris. Mau tidak mau setiap ahli waris harus mematuhi pada aturan yang telah ditentukan. Karena jika tidak dipatuhi, maka akan ada sanksi hukum yang mengikat. Begitu pun hukum akan bertindak tegas jika ada yang mengganggu hak bagian yang lain.
E. Penegakkan Hukum dalam Masyarakat
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia.
Indonesia merupakan negara hukum, dan para pahlawan terdahulu telah menginginkan bahwa Indonesia berdiri berdasarkan atas hukum. Dengan demikian, penegakkan hukum merupahan hal yang semestinya dilakukan di negara hukum.
Dalam hal ini, mesti adanya kesinambungan antara para penegak hukum dan masyarakat. Setiap petugas penegak hukum harus bersikap tegas dan konsekuen terhadap setiap pelanggaran hukum yang terjadi. Tegas dan konsekuen dalam arti tidak ragu-ragu menindak setiap pelanggaran kapan saja dan di mana saja. Karena dalam keadaan tersebut akan menimbulkan rasa aman dan tentram dalam diri masyarakat. Dan yang lebih penting lagi, para penegak hukum haruslah menjadi panutan masyarakat.
Masyarakat pun harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu. Maka program penyadaran, kampanye, pendidikan, apapun namanya, harus terus menerus digalakkan dengan metode yang partisipatif. Karena, adalah hak dari warganegara untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang tepat dan benar akan hal-hal yang penting dan berguna bagi kelangsungan hidupnya.

KESIMPULAN
Hukum adalah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, yang dibuat oleh pihak yang berwajib, bersifat memaksa dan terdapat sanksi tegas yang mengikat bagi pelanggarnya untuk terciptanya kehidupan yang tertib dan tentram.
Sedangkan masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama dalam jangka waktu yang lama, yang melakukan kerjasama melalui ikatan tertentu untuk menuju tujuan tertentu sehingga terciptanya suatu kebudayaan (adat istiadat).
Tanpa adanya hukum, hidup manusia tidak akan terarah. Karena tujuan hukum dalam mengatur tingkah laku manusia adalah untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Hal itu pun tidak terlepas dari adanya kesinambungan yang selaras antara penegak hukum yang dijadikan sebagai panutan, hukum tegas yang mengikat, dan masyarakat yang sadar akan pentingnya hukum dalam kelangsungan kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003
Budiyanto. Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2004
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1986
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat. Bandung : Angkasa. 1986
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2006
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007
http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/meningkatkan-kesadaran-hukum-masyarakat.html

http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf
http://herususetyo.multiply.com/journal/item/9

Sabtu, 08 Januari 2011

PRANATA PERKAWINAN

1. PENDAHULUAN

Islam itu hanya satu dan berlaku bagi seluruh dunia dan sepanjang masa. Namun dalam penerapan hukum, terutama masalah perkawinan beragam sesuai dengan dimana hukum itu diberlakukan.
Di Indonesia sendiri ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia.
Dengan demikian, kami sebagai pemakalah bermaksud untuk menguraikan tentang perkawinan dalam Hukum Islam di Indonesia.

2. PEMBAHASAN
A. Pengertian
Istilah pranata dalam bahasa Inggris adalah Institution. Dalam bahasa Indonesia, pranata adalah norma-norma yang dijadikan pedoman dalam memenuhi kebutuhan spesifik manusia dalam bermasyarakat.
Istilah perkawinan menurut Islam disebut nikah atau ziwaj`. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam bahasa Indonesia ada perbedaan, sebab kata `nikah` berarti hubungan menyetubuhi istri, sedangkan `ziwaj` berarti kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami-istri untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah.
Dalam bahasa Indonesia “perkawinan” berasal dari kata `kawin`, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukah hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami.
Menurut bentuknya, Islam mewujudkan susunan keluarga sebagai suami-istri yang diridloi Allah melalui ikatan perjanjian (aqad) bernilai kesucian atau sakral rohaniah dan jasmaniah. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, disebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengn tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

B. Dasar-Dasar Pemikiran
Di dalam hukum Islam, ketentuan-ketentuan hukum keluarga mengatur mengenai pembentukan keluarga dan berakhir sampai adanya pemindahan hak milik karena putus hubungan hukum antara suami dan istri. Hal ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan yang merupakan masalah `munakahat` mengatur kegiatan individu dalam hubungannya dengan individu lain yang berbeda jenis kelamin untuk membentuk keluarga dalam wujud sebagai rumah tangga, termasuk mempunyai keturunan atau tidak, sampai terjadi peristiwa hukum kematian atau perceraian. Dan proses kegiatan itu dapat dilakukan oleh setiap orang yang memenuhi ketentuan-ketentuan hukumnya dengan membatasi kegiatan dan tingkah laku tersebut.
Selain itu, perkawinan dapat dilihat dari 3 segi pandang :
1. Dari segi Hukum
Di pandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian, seperti telah disebutkan dalam Q.S. An-Nisa [4] :21
          
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”
Telah dinyatakan bahwa “perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”.
Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:
a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu, artinya dengan akad nikah dan rukun atau syarat tertentu
b. Cara menguraikan atau memutuskan perkawinan juga telah diatur sebelumnya, yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fassakh, syiqaq dan sebagainya.
2. Dari Segi Sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin. Firman Allah Q.S. An-nisa [4] : 3
                              
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.’
Dari firman Allah tersebut di atas ditentukan bahwa orang boleh kawin lebih dari satu dan paling banyak empat dengan syarat harus berlaku adil terhadap semua istrinya, sedangkan kalau takut tidak dapat berlaku adil, sebaiknya kawin satu saja. Karena dengan hanya mengawini seorang saja, akan terhindarilah tindakan yang menyebabkan orang menderita.
3. Dari Segi Agama
Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagai firman Allah Q.S. At- Taubah [9] :1
         
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka).”

C. Lahirnya Undang-Undang Perkawinan
Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi golongan-golongan tertentu. Yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi warga bumiputra yang beragama Islam. Bagi mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang perkawinan, tidak ada undang-undang tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam pelaksanaan akad nikah perkawinannya.
Setelah Indonesia merdeka, usaha mendapatkan undang-undang tetap diupayakan. Pada akhir 1950 dengan surat Penetapan Menteri Agama RI Nomor B/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak Rujuk, yang diketuai oleh Mr. Teuku Moh. Hasan, tetapi panitia ini tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Maka dari itu, pada tanggal 1 April 1961 dibentuk sebuah panitia baru yang diketuai oleh Mr. Noer Persoetjipto.
Setelah mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang masuk panitia kerja, maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 itu diteruskan kepada sidang paripurna DPR RI tersebut semua fraksi mengemukakan pendapatnya. Pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
D. Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan
Pada tanggal 1 April 1975 diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan terdiri dari 49 pasal dan 10 bab. Pelaksanaan yang diatur dalam Peraturan ini terdapat dua bagian, yaitu pelaksanaan yang behubungan dengan pelaksanaan nikah yang menjadi tugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan pelaksanaan yang dilaksanakan oleh pengadilan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Peradilan Umum bagi warga negara yang non-muslim dan Peradilan Agama yang muslim.
1. Keterangan Umum
Dalam ketentuan umum peraturan ini dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan undang-undang adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan yang dimaksud dengan pengadilan adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum, sedangkan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama bagi pengadilan dalam Peradilan Agama. Yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian pada KUA kecamatan bagi umat Islam dan catatan sipil bagi non-muslim.
2. Pencatatan Perkawinan
Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan ruju`). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah :
a. Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Ruju` bagi orang beragama Islam (dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1974 jo. Undang-Undang Nomor Tahun 1954).
b. Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan yang bukan beragama Islam.
Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan di wilayahnya masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan ini dapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah satu kegunaan dari pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan konkret tentang data NTR.
3. Tata Cara Perkawinan dan Akta Perkawinan
Bagi seseorang yang bermaksud melangsungkan perkawinan terlebih dahulu memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat nikah. Pemberitahuan ini boleh dialakukan oleh orang tua atau walinya. Pegawai pencatat perkawinan setelah menerima laporan tersebut segera meneliti syarat-syarat perkawinan apakah telah terpenuhi atau belum, apakah ada halangan kawin menurut agama dan undang-undang, demikian surat-surat yang dijadikan syarat administrasisudah terpenuhi atau belum. Jika belum terpenuhi, maka pegawai pencatat perkawinan tersebut harus menolaknya.
Perkawinan harus dihadiri oleh saksi dan dihadiri pula oleh Pegawai Pencatat Nikah. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, akad nikahnya dilaksanakan oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Sessat sesudah akad berlangsung, maka kedua belah pihak mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, setelahnya diikuti pula oleh saksi-saksi, wali nikah, dan pegawai pencatat yang bertugas mencatat perkawinan tersebut. Dengan selesainya penandatanganan akta perkawinan tersebut, maka perkawinan yang telah dilaksanakan itu telah dianggap sah dan telah tercatat secara resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan adalah sebuah daftar besar yang memuat identitas kedua mempelai, orang tua atau walinya atau juga wakilnya.
Dalam buku akta nikah dimuat perjanjian ta`lik yang biasanya materi ta`lik talak itu diucapkan oleh mempelai pria sesaat akad nikah dilaksanakan. Perjanjian ta`lik talak ini mempunyai tujuan untuk melindungi kaum wanita (istri) dari perlakuan sewenang-wenang pihak suami. Apabila perjanjian ta`lik talak itu dilanngar oleh pihak suami, maka pihak istri diberi wewenang untuk menggugat cerai kepada Pengadilan Agama. Agar perjanjian ta`lik talak mempunyai dasar hukum kuat, maka setelah pihak pria mengucapkan ta`lik talak itu petugas pencatat pernikahan segera meminta tanda tangan mempelai pria untuk dibubuhkan pada lembar perjanjian ta`lik talak itu. Ta`lik talak yang tidak ada tanda tangan mempelai pria dianggap tidak sah dan karenanya dianggap tidak pernah mengucapkannya.
3. Tata Cara Perceraian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 38 menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai dasar perceraian terdapat dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Cerai gugat diajukan ke pengadilan oleh pihak istri, sedangkan cerai talak diajukan oleh pihak suami ke pengadilan dengan memohon agar diberi izin untuk menfucapkan ikrar talak kepada istrinya dengan suatu alasan yang telah disebutkan.
a. Cerai Talak
Dalam Pasal 14 sampai dengan pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikemukakan bahwa seorang suami yang bermaksud menceraikan istrinya berdasarkan perkawinan menurut agama Islam, mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama di tempat tinggalnya. Permohonan tersebut berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada Pengadilan Agama agar membuka sidang untuk keperluan tersebut. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil suami istri untuk didengar keterangannya dalam persidangan. Pengadilan Agama hanya memutuskan untuk memberi izin ikrar talak jika alasan-alasan yang diajukan oleh suami terbukti secara nyata dalam persidangan. Itu pun setelah majelis hakim sudah berusaha secara maksimal untuk merukunkan kembali dan majelis hakim berpendapat bahwa antara suami istri tersebut tidak mungkin lagi didamaikan untuk rukun kembali dalam suatu rumah tangga.
Cerai talak dengan segala akibatnya, seperti iddah, nafkah selama iddah, dan sebagainya dihitung sejak suami mengucapkan ikrar talak di hadapan Hakim Pengadilan Agama.
b. Cerai Gugat
Cera gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh istri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Dalam perkawinan menurut agama Islam dapat berupa gugatan karena suami melanggar ta`lik talak, gugatan karena syiqaq, gugatan karena fasakh, dan gugatan karena alasan-alasan sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Menurut Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 gugatan perceraian diajukan oleh suami istri kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Tetapi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 73 bahwa gugatan diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali apabila penggugat meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dalam hal penggugat bertempat tinggal di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Jakarta Pusat.
Apabila gugatan perceraian dilaksanakan atas alasan satu pihak mendapat penjara 5 tahun atau lebih, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi atau juga putusan Mahkamah Agung RI disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila gugatan perceraian diajukan ke pengadilan dengan alasan tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat suami tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksa diri kepada dokter. Jika gugatan perceraian didasarkan syiqaq (cekcok) terus-menerus yang membahayakan kehidupan suami isteri, maka untuk mendapatkan putusan perceraian itu harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.
Adapun cara mengajukan gugatan adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama (bagi orang Islam) yang bersangkutan. Bagi orang yang tidak dapat menulis boleh mengajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama, atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama mencatat gugatan lisan dalam bentuk gugatan sebagaimana yang diajukan itu diproses oleh Pengadilan Agama setelah yang bersangkutan membayar uang muka biaya perkara. Majelis Hakim Pengadilan Agama wajib menyidangkan perkara itu selambat-lambatnya 30 hari setelah perkara didaftarkan di Pengadilan Agama. Pengadilan Agama wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berpekara agar mereka rukun kembali, pada setiap sidang yang dilakukan.
Sidang Majelis Hakim Pengadilan Agama yang memeriksa perkara perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat harus dilaksanakan dalam sidang tertutup. Hal ini disebabkan karena dalam sidang gugatan perceraian itu kedua belah pihak saling mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi bahkan merupakan aib yang kurang layak diketahui oleh orang lain. Di samping itu, juga diharapkan kedua belah pihak bersedia memberikan keterangan yang lengkap untuk bahan pertimbangan hakim di dalam mengambil keputusan terhadap gugatan yang diajukan. Meskipun pemeriksaan gugatan perceraian dilaksanakan dalam sidang tertutup tetapi pembacaan putusan harus dilaksanakan dalam sidang terbuka untuk umum, sebab putusan mengenai perceraian itu membawa akibat hukum tertentu walaupun masih harus menunggu sampai putusan tersebut mempunyai hukum tetap.
Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah :
1. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana yang berlaku antara dua orang yang saling asing.
2. Keharusannya memberi mut`ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi.
3. Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafkah, yang menurut sebagian ulama wajib dilakukannya bila pada waktunya tidak dapat membayarnya.
4. Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah
5. Pemeliharaan terhadap anak
E. Kewajiban dan Hak Suami Istri
Hak dan kewajiban suami isteri baru muncul setelah keduanya terikat dalam akad nikah dengan pembayaran mahar sesuai permintaan pihak wanita. Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya, yakni mencukupi segala macam yang diperlukan isterinya baik berupa makanan, tempat tinggal, keperluan-keperluan pelayanan, maupun obat-obatan, dan yang lain-lain di sekitar sandang, pangan dan papan.
Kewajiban ini menjadi beban suami sebagai konsekuensi dari akad nikah, karena akad tersebut melahirkan implikasi bahwa suami boleh membatasi gerak istrinya untuk lebih berkonsentrasi dalam mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan melayani segala keperluan suami dengan ramah dan menyenangkan. Dan kalau isteri itu banyak menghabiskan waktunya di luar rumah untuk berbagai kegiatan profesi yang mengikat dan produktif, kewajiban nafkah tidak sepenuhnya di tangan suami karena dia tidak terikat dalam rumah, dan kapasitas pelayanan menjadi tidak optimal. Soal pemenuhan kebutuhan kerumahtanggaan seharusnya dibicarakan bersama-sama secara baik dan terbuka.
Firman Allah Q.S. Al-Baqarah [2] : 228
        
“Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.”
Ayat ini menjelaskan bahwa istri mempunyai hak dan istri juga mempunyai kewajiban. Kewajiban istri merupakan hak bagi suami. Hak istri semisal hak suami yang dikatakan dalam ayat ini mengandung arti hak dan kedudukan istri semisal atau setara atau seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Meskipun demikian, suami mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut.
Masalah hak dan kewajiban suami dan istri seperti yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi :
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Hak bersama suami istri . Yang dimaksud hak bersama suami istri adalah hak bersama secara timbal balik dari suami istri terhadap yang lain, yaitu :
1. Bolehnya bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya. Inilah hakikat sebenarnya dari perkawinan itu.
2. Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya, dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut mushaharah.
3. Hubungan saling mewarisi diantara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain bila terjadi kematian.
Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama dengan telah terjadinya perkawinan itu :
1. Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.
2. Memelihara kehidupan rumah tangga yang saknah, mawwadah, warahmah.

3. KESIMPULAN

Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hukum perkawinan Islam mengandung unsur-unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan kebenaran.
Selain itu perkawinan juga berdasarkan religius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan rumah tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Dengan demikian, segala hal yang berkaitan dengan perkawinan telah diatur dalam Al-Quran dan Sunah, sehingga disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fikih dan undang-undang dalam pengaturannya agar sah dan tertib dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2007
Djamali, R. Abdul. Hukum Islam. Bandung: Mandar Maju. 1997
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group. 2008
Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial Dirasah Islamiyah III. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1999
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media. 2009
Tihami, Sahrani Sohari. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009

Perkawinan

PENDAHULUAN

Islam itu hanya satu dan berlaku bagi seluruh dunia dan sepanjang masa. Namun dalam penerapan hukum, terutama masalah perkawinan beragam sesuai dengan dimana hukum itu diberlakukan.
Di Indonesia sendiri ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia.
Dengan demikian, kami sebagai pemakalah bermaksud untuk menguraikan tentang perkawinan dalam Hukum Islam di Indonesia.

PEMBAHASAN

A. Dasar-Dasar Pemikiran
Di dalam hukum Islam, ketentuan-ketentuan hukum keluarga mengatur mengenai pembentukan keluarga dan berakhir sampai adanya pemindahan hak milik karena putus hubungan hukum antara suami dan istri. Hal ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan yang merupakan masalah `munakahat` mengatur kegiatan individu dalam hubungannya dengan individu lain yang berbeda jenis kelamin untuk membentuk keluarga dalam wujud sebagai rumah tangga, termasuk mempunyai keturunan atau tidak, sampai terjadi peristiwa hukum kematian atau perceraian. Dan proses kegiatan itu dapat dilakukan oleh setiap orang yang memenuhi ketentuan-ketentuan hukumnya dengan membatasi kegiatan dan tingkah laku tersebut.
Selain itu, perkawinan dapat dilihat dari 3 segi pandang :
1. Dari segi Hukum
Di pandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian, seperti telah disebutkan dalam Q.S. An-Nisa [4] :21
          
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”
Telah dinyatakan bahwa “perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”.
Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:
a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu, artinya dengan akad nikah dan rukun atau syarat tertentu
b. Cara menguraikan atau memutuskan perkawinan juga telah diatur sebelumnya, yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fassakh, syiqaq dan sebagainya.
2. Dari Segi Sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin. Firman Allah Q.S. An-nisa [4] : 3
                              
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.’
Dari firman Allah tersebut di atas ditentukan bahwa orang boleh kawin lebih dari satu dan paling banyak empat dengan syarat harus berlaku adil terhadap semua istrinya, sedangkan kalau takut tidak dapat berlaku adil, sebaiknya kawin satu saja. Karena dengan hanya mengawini seorang saja, akan terhindarilah tindakan yang menyebabkan orang menderita.
3. Dari Segi Agama
Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagai firman Allah Q.S. At- Taubah [9] :1
         
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka).”

B. Arti dan Tujuan Perkawinan
Istilah perkawinan menurut Islam disebut nikah atau ziwaj`. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam bahasa Indonesia ada perbedaan, sebab kata `nikah` berarti hubungan menyetubuhi istri, sedangkan `ziwaj` berarti kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami-istri untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah.
Dalam bahasa Indonesia “perkawinan” berasal dari kata `kawin`, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukah hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami.
Menurut bentuknya, Islam mewujudkan susunan keluarga sebagai suami-istri yang diridloi Allah melalui ikatan perjanjian (aqad) bernilai kesucian atau sakral rohaniah dan jasmaniah. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, disebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengn tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sedangkan tujuan perkawinan menurut hukum Islam terdiri dari :
1. Berbakti kepada Allah
2. Memenuhi atau mencakupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum bahwa antar pria dan wanita itu saling membutuhkan
3. Mempertahankan keturunan umat manusia
4. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohani antar pria dan wanita
5. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia untuk menjaga keselamatan hidup.
Perkawinan juga bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga adalah menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan.

C. Proses Perkawinan
C.1. Memilih Jodoh
Membentuk suatu keluarga tidak semudah yang dilakukan muamalat walaupun perkawinan merupakan suatu akad. Tetapi pengertia akad perkawinan dibangun dalam proses kegiatan yang terus menerus berlangsung. Untuk mewujudkannya, diperlukan suatu ketelitian dengan berpegangan kepada dasar pikiran yang menjadi pokok pangkal dalam pembentukan keluarga melalui suatu perkawinan.
Hukum Perkawinan Islam menghendaki calon mempelai saling mengenal dan memahami karakteristik pribadi. Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan seorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah : karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan seorang laki-laki atau kesuburan keduanya dalam mengharapkan anak keturunan, karena kekayaannya, karena kebangsawanannya, dan karena keberagamaannya. Di antara alasan yang banya itu, maka yang paling utama dijadikan motivasi adalah karena keberagamaannya. Maksudnya, komitmen keagamaannya atau kesungguhannya dalam menjalankan agama. Hal ini dijelaskan Nabi dalam haditsnya yang muttafaq `alaih berasal dari Abu Hurairah, ucapan Nabi yang bunyinya :
“Perempuan itu dikawini dengan empat motivasi, karena hartanya, karena kedudukan atau kebangsawanannya, karena kecantikannya, dan karena keberagamaannya. Pilihlah perempuan karena keberagamaannya, kamu akan mendapat keberuntungan.”
C.2. Peminangan
Pengertian
Setelah ditentukan pilihan pasangan yang akan dikawini sesuai dengan kriteria sebagaimana disebutkan di atas, langkah selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan itu. Penyampaian kehendak untuk menikahi seseorang itu disebut dengan khitbah atau yang dalam bahasa Melayu disebut peminangan.
Kata khitbah adalah bahasa Arab yang secara sederhana diartikan dengan : penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 Bab 1 huruf a, peminangan adalah langkah awal upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan cara-cara yang baik (ma`ruf).
Hukum Peminangan
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang ingin mencari jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (Pasal 11 KHI). Selain itu, peminangan dapat juga dilakukan secara terang-terangan dan/atau sindiran .
a. Firman Allah Q.S. Al-Baqarah [2] : 235
                          •            •         •    
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf[150]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
Pada umumnya, ulama berpendapat ayat di atas dapat dipahami bahwa peminangan tidak wajib dalam pengertian definisi yang telah diungkapkan. Namun kebiasaan masyarakat dalam praktik menunjukkan bahwa peminangan merupakan pendahuluan yang hampir pasti pelaksanaan perkawinan dilakukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Dawud Al-Dzahiry yang menyatakan bahwa peminangan hukumnya wajib karena peminangan itu merupakan suatu tindakan yang menuju kebaikan.
b. Hadits Rasul Rawahul Ahmad dan Muslim
“Orang-orang Muslim itu bersaudara, maka tidak halal bagi seseorang meminang wanita yang sedang dipinang oleh saudaranya.”
c. Hadits Rasul Rawahul Imam Ahmad
“ Apabila salah seorang diantara kamu meminang wanita, maka tidak berhalangan baginya untuk melihat wanita itu asal dengan sengaja semata-mata untuk mencari jodoh, baik diketahui oleh wanita itu atau tidak.”
d. Hadits Rasul Rawahul Imam Ahmad dan Abu Daud
“Apabila diantara kamu meminang seorang wanita, sekiranya dia dapat melihat wanita itu hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginan kepadanya untuk nikah.”
Akibat Hukum Peminangan
Pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang wanita tidak mempunyai akibat hukum. Pasal 13 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam mengatur sebagai berikut :
1. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan hubungan peminangan
2. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai
Jika pasal 13 KHI dihubungkan dengan hak peminangan seorang pria kepada seorang wanita, yaitu menutup hak peminangan orang lain. Hal ini berarti mengandung nilai-nilai kesopanan. Oleh karena itu, peminangan mempunyai prinsip-prinsip yang belum mengandung akibat hukum sehingga mereka yang sudah bertunangan belum dapat berdua-duaan hingga mereka melangsungkan akad nikah.

C.3. Syarat-Syarat dan Rukun-Rukun Perkawinan
a. Syarat-Syarat Perkawinan
Yang dimaksud dengan syarat, ialah segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai norma untuk menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan.
Syarat-syarat yang perlu dipenuhi seseorang sebelum melangsungkan perkawinan itu ada enam , yaitu :
1. Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan. Keinginan lanjut berpartisipasi dala membentuk satu keluarga itu sebagai persetujuan kedua belah pihak yang tidak dapat dipaksakan oleh pihak lain baik orang tua maupun orang yang dituakan dalam keluarga masing-masing.
2. Dewasa. Ukurang kedewasaan seseorang tidak dilihat dari usia melainkan dari kedewasaan pisik dan psikis. Kedewasan pisik ditandai dengan sejak pertama kali menghasilkan sperma bagi laki-laki, dan menstruasi pertama bagi perempuan. Sedangkan kedewasaan psikis dimaksud bahwa bagi para pihak telah memiliki kesehatan mental yang baik, mempunyai rasa tanggung jawab sebagai suami-isteri terutama dalam mendidik anak-anaknya dengan wajar dan terhormat.
3. Kesamaan agama Islam. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam memelihara keturunan yang sah tidak ada pertentangan memperebutkan atau mengalahnya salah satu pihak untuk terwujudnya keagamaan keturunan mereka itu.
4. Tidak dalam hubungan nasab. Yang dimaksud dengan hubungan nasab, ialah hubungan keluarga dekat baik secara vertikal maupun horizontal dari pihak ibu ataupun bapak. Dan kalau dilihat dari dunia kedokteran, banyak terjadi kemungkinan-kemungkinan kelainan perkembangan kesehatan dari keturunan itu; sedangkan dari segi psikolog banyak terlihat adanya kelainan psikis dan mental kalau sampai dilangsungkan perkawinan dalam satu hubungan darah. Yang haram karena nasab : ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari ayah, bibi dari ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak perempuan dari saudara perempuan.
5. Tidak ada hubungan rodhoah. Rhodoah adalah sepersusuan; maksudnya bahwa antara pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan itu pernah mendapat air susu satu ibu ketika masih bayi walaupun keduanya orang lain. Maka haram hukumnya jika melangsungkan perkawinan. Menurut Firman Allah dalam Q.S. An-Nisa [4] : 23, ibu-susu sama dengan ibu kandung. Dan diharamkan bagi laki-laki yang disusui kawin dengan ibu susunya dan dengan semua perempuan yang haram dikawininya dari pihak ibu, yaitu ibu-susunya, ibu dari yang menyusui, ibu dari bapak-susunya, saudara perempuan dari ibu-susunya, saudara perempuan dari bapak-susunya, cucu perempuan ibu susu-nya, saudara perempuan sesusuan.
6. Tidak semenda. Artinya, kedua calon suami-istri tidak mempunyai hubungan perkawinan seperti antara bapak/ibu dan menantu, anak dan bapak/ibu tiri, anak bawaan dari perkawinan ibu/bapak.
b. Rukun-Rukun Perkawinan
Yang dimaksud dengan rukun ialah segala sesuatu yang ditentukan menurut hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat perkawinan dilangsungkan. Adapun rukun perkawinan mewajibkan adanya:
1. Calon pengantin pria dan wanita. Tetapi dalam keadaan berhalangan yang tidak mungkin kehadirannya, maka dapat diwakilkan untuk sementara itu kepada orang lain yang memenuhi syarat-syarat perkawinan.
2. Wali. Ialah orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan pria pilihannya. Syarat-syarat yang wajib dipenuhi seorang wali, ialah :
a. Islam
b. Dewasa
c. Berpikiran sehat
d. Jujur
e. Baik tingkah lakunya
f. Mengetahui asas-asas dan tujuan perkawinan
g. Mengetahui dengan jelas asal-usul calon suami istri sebagai pengantin
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 21, 22, 23 menegaskan secara rinci tentang perwalian. Wali nikah ada dua macam. Pertama, wali nasab, yaitu wali yang hak perwaliannya didasari oleh adanya hubungan darah. Kedua, wali hakim, yaitu wali yang hak perwaliannya timbul karena orang tua perempuan menolak, atau tidak ada, atau karena sebab lainnya.
Urutan wali nasab secara rinci adalah : Ayah kandung, kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki ayah sekandung, saudara laki-laki ayah seayah, anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman sebapak, saudara laki-laki kakek seayah, anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.
3. Saksi. Saksi terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan mendengarkan ijab kabul. Dua orang saksi hendaknya laki-laki tetapi kalau tidak ada, wanita pun diperkenankan hanya jumlahnya harus 4 orang. Beberapa syarat yang harus ada pada seseorang saksi adalah berakal sehat, dewasa, dan mendengarkan omongan kedua belah pihak yang berakad, serta memahami bahwa ucapan-ucapannya itu adalah ijab-kabul pernikahan. Bila para saksi itu buta, maka hendaklah mereka bisa mendengarkan suaranya dan mengenal betul bahwa suara tersebut adalah suaranya kedua orang yang melangsungkan akad.
4. Akad Nikah. Ialah, pengukuhan janji perkawinan sebagai suatu ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara sah yang diucapkan dengan jelas, meyakinkan, dan tidak meragukan. Akad nikah dilaksanakan dalam suasana hening dengan pihak yang menyatakan (ijab) dan dijawab oleh calon suami secara tegas dan jelas dengan menerima (qabul).
Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat perkawinan.
Firman Allah dalam Q.S. An-Nisa [4] : 25
     
“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut”

D. Kewajiban dan Hak Suami Istri
Hak dan kewajiban suami isteri baru muncul setelah keduanya terikat dalam akad nikah dengan pembayaran mahar sesuai permintaan pihak wanita. Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya, yakni mencukupi segala macam yang diperlukan isterinya baik berupa makanan, tempat tinggal, keperluan-keperluan pelayanan, maupun obat-obatan, dan yang lain-lain di sekitar sandang, pangan dan papan.
Kewajiban ini menjadi beban suami sebagai konsekuensi dari akad nikah, karena akad tersebut melahirkan implikasi bahwa suami boleh membatasi gerak istrinya untuk lebih berkonsentrasi dalam mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan melayani segala keperluan suami dengan ramah dan menyenangkan. Dan kalau isteri itu banyak menghabiskan waktunya di luar rumah untuk berbagai kegiatan profesi yang mengikat dan produktif, kewajiban nafkah tidak sepenuhnya di tangan suami karena dia tidak terikat dalam rumah, dan kapasitas pelayanan menjadi tidak optimal. Soal pemenuhan kebutuhan kerumahtanggaan seharusnya dibicarakan bersama-sama secara baik dan terbuka.
Firman Allah Q.S. Al-Baqarah [2] : 228
        
“Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.”
Ayat ini menjelaskan bahwa istri mempunyai hak dan istri juga mempunyai kewajiban. Kewajiban istri merupakan hak bagi suami. Hak istri semisal hak suami yang dikatakan dalam ayat ini mengandung arti hak dan kedudukan istri semisal atau setara atau seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Meskipun demikian, suami mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut.
Masalah hak dan kewajiban suami dan istri seperti yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi :
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Hak bersama suami istri . Yang dimaksud hak bersama suami istri adalah hak bersama secara timbal balik dari suami istri terhadap yang lain, yaitu :
1. Bolehnya bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya. Inilah hakikat sebenarnya dari perkawinan itu.
2. Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya, dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut mushaharah.
3. Hubungan saling mewarisi diantara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain bila terjadi kematian.
Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama dengan telah terjadinya perkawinan itu :
1. Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.
2. Memelihara kehidupan rumah tangga yang saknah, mawwadah, warahmah.

E. Putusnya Perkawinan
Putus perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Dalam pasal 113 Kompilasi Hukum Islam disebutkan sebab-sebab putusnya perkawinan sebagai berikut :
1. kematian
2. perceraian
3. atas putusan pengadilan
E.1. Putus Perkawinan karena Kematian Salah Satu Pihak
Kalau terjadi kematian dari salah satu pihak antara suami dan istri mengakibatkan perkawinan itu putus.
Seorang istri yang kematian suaminya, tidak terikat lagi dengan keluarga suami atau kerabat suami dan dirinya bebas menentukan pilihan lebih lanjut. Kalau ia memilih tidak kawin lagi, maka selama itu akan memegang status janda; dan kalau memilih akan kawin lagi, diwajibkan menjalankan masa iddah selama 4 bulan 10 hari. Setelah masa iddah itu dilalui untuk perkawinan selanjutnya dapat dilaksanakan. Dan dalam keadaan hamil, masa iddahnya menunggu sampai anak dilahirkan. Masa iddah karena kematian suaminya itu dinamakan “iddah wafat”.
Kalau suami kematian istrinya, selain tidak terikat lagi dengan keluarga istri dan kerabatnya, maka ia bebas melakukan pilihan menduda atau kawin lagi. Kalau akan kawin lagi tidak ada larangan untuk segera mewujudkan, karena bagi pria tidak ada jangka waktu tunggu (iddah) seperti diwajibkan kepada wanita yang kematian suaminya.
E.2. Perceraian
Perceraian merupakan putusnya perkawinan antara suami istri dalam hubungan keluarga. Hukum Islam memungkinkan terjadinya perceraian itu dalam beberapa hal, yaitu:
1. Talak artinya cerai. Pelaksanaannya dilakukan atas inisiatif suami dengan ucapan yang dikeluarkan oleh diri sendiri dalam keadaan sengaja atau tidak sengaja.
2. Khuluk artinya tebusan talak khuluk merupakan perceraian yang dilakukan oleh suami atas inisiatif istri agar ia diceraikan dengan baik-baik dan akan diberikan ganti rugi atau tebusan dari istri kepada suami. Talak ini tidak boleh rujuk dalam masa iddah atas kehendak suami saja. Maka, dalam keinginan ingin menarik kembali bekas istrinya itu ia wajib melakukan proses perkawinan baru.
3. Fasakh, yaitu suatu peceraian suami-istri yang dilakukan melalui proses pengadilan dengan keputusan hakim, karena syarat-syarat atau rukun-rukun perkawinan itu tidak dipenuhi; tetapi perceraiannya dilakukan atas permohonan. Pisah suami istri karena fasakh, tidak berarti mengurangi bilangan talak, jika kemudian suami istri tersebut menikah lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak. Dan alasan-alasan yang dapat diterima dalam perceraian ini adalah :
a. Menderita sakit sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri
b. Keadaan ekonomi, dimana suami tidak mampu membiayai kehidupan rumah tangga dalam kelangsungannya.
c. Sosio-psikologis, alasan ini berkenaan dengan penderitaan istri dalam menanggung beban kehidupan tanpa harmonisasi psikis yang banyak diketahui tetangga atau lingkungannya.
Namun demikian sebelum melakukan cerai, alasan-alasan tersebut di atas haruslah disertai dengan segala pemikiran dan pertimbangannya.
4. Siqoq, artinya sengketa atau konflik. Untuk menyelesaikan masalah konflik yang tidak dapat ditemukan titik pengertian antar keduanya, maka hakim akan mendengarkan keterangan kedua belah pihak. Proses penyelesaian itu dilakukan oleh istri atau kuasanya dengan mengajukan permohonan cerai ke pengadilan melalui cerai gugat dan disertakan alasan yang utama ialah salah satu, sebagian atau semua taklik yang diucapkan suami telah dilanggar. Kalu keputusan hakam dapat diterima oleh para pihak dan dapat berdamai, maka mereka wajib mentaati hasil keputusan dan hidup sebagai mana layaknya suami-istri. Tetapi kalau keputusan hakam ditolak, maka dianjurkan bagi kedua belah pihak menempuh talak khuluk.
5. Taklik – Talak. Taklik adalah suatu janji dari suami kepada istri yang didasarkan kepada syarat-syarat tertentu. Taklik ini dibacakan sesaat selesai akad nikah, dengan lafaz sebagai berikut
“Taklik talak akan jatuh, sewaktu waktu saya,
1. meninggalkan istri tersebut 2 tahun berturut-turut
2. atau saya tidak memberikan nafkah wajib kepadanya 3 bulan lamanya
3. atau saya menyakiti badan/jasmani istri sata itu
4. atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) istri saya itu 6 bulan lamanya.
Kalau suami telah mengucapkan janji itu dengan tegas dan dalam kenyataannya dilanggar, maka jatuhlah talak taklik atas tuntutan istri. Jadi talak taklik itu adalah perceraian sebagai akibat pelanggaran janji yang diucapkan suami sesaat setelah akad nikah.

F. Akibat-Akibat Putusnya Perkawinan
Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah :
1. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana yang berlaku antara dua orang yang saling asing.
2. Keharusannya memberi mut`ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi.
3. Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafkah, yang menurut sebagian ulama wajib dilakukannya bila pada waktunya tidak dapat membayarnya.
4. Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah
5. Pemeliharaan terhadap anak

G. Rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai, dan dilaksankan selama istri masih dalam masa iddah.
Firman Allah Q.S. Al-Baqarah [2] : 228
       
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. “
Apabila suami melakukan rujuk, berarti melakukan akad nikah kembali. Dengan demikian, istri yang akan dirujuk oleh suaminya menyutujuinya dan disaksikan oleh dua orang saksi.
Adapun hikmah rujuk, dapat dikemukakan diantaranya sebagai berikut :
1. Bertaubat dan menyesali kesalah-kesalahan yang lalu untuk bertekad memperbaikinya
2. Menghindari murka dan kebencian Allah SWT
3. Untuk menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga, khususnya masa depan anak-anak


KESIMPULAN

Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hukum perkawinan Islam mengandung unsur-unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan kebenaran.
Selain itu perkawinan juga berdasarkan religius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan rumah tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Dengan demikian, segala hal yang berkaitan dengan perkawinan telah diatur dalam Al-Quran dan Sunah, sehingga disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fikih dan undang-undang dalam pengaturannya agar sah dan tertib dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2007

Djamali R. Abdul. Hukum Islam. Bandung: Mandar Maju. 1997

Ramulyo Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004

Sabiq Sayyid. Fikih Sunah 6. Terj.Moh. Thalib. Bandung: Al-Ma`arif. 1980

Syarifuddin Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media. 2009

Tihami, Sahrani Sohari. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009