Kamis, 10 Februari 2011

Hukum Perdata Waris

PENDAHULUAN

Hubungan persaudaraan dapat terpecahbelah jika dalam masalah pembagian harta waris tidak dilakukan dengan adil dan tidak berdasarkan landasan hukum. Untuk menghindari masalah tersebut, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan tepat,dan salah satu caranya adalah menggunakan hukum waris menurut undang-undang yang berlaku.
Banyak permaslahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak puas dengan hak waris yang ia terima atau ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang aturan yang akan mereka gunakan dalam pembagian harta waris.
Oleh karenanya, dalam pembagian harta waris harus dilihat terlebih dahulu aturan mana yang akan digunakan para ahli waris dalam penyelesaian pembagian hak waris. Disini pemakalah akan membahas tentang hukum waris di Indonesia.

PEMBAHASAN
1. Perihal Waris pada Umumnya
Istilah hukum waris dalam Perdata Barat disebut dengan Efrecht. Hukum waris diatur dalam Buku II KUH Perdata, yaitu pasal 830 sampai dengan pasal 1130. Buku II KUH Perdata ini berkaitan dengan Hukum Kebendaan.
Selain dalam Buku II KUH Perdata, hukum waris juga diatur dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Adapun dalam masyarakat Indonesia juga berlaku ketentuan waris adat yang sifatnya merupakan hukum tidak tertulis.
Hukum waris dalam KUH Perdata pasal 830 adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam terdiri dari 4 bab dan 23 pasal yaitu 171-193. Pada pasal 171 berisi tentang penjelasan tentang hukum waris, pewaris (muwarrits), ahli waris (waritsun), harta peninggalan (waratsah), harta warisan (tirkah), wasiat, hibah, anak angkat, dan baitu mal (Balai Harta Keagamaan).
Wasiat dan hibah masuk ke dalam kategori waris, karena jika ada seseorang yang tidak akan mendapatkan waris karena terhalang oleh ahli waris lain, seorang pewaris dapat memberikan sebelum meninggalnya dengan cara berwasiat atau hibah.
Salah satu orang yang tidak berhak menerima waris adalah anak angkat, oleh karena itu pewaris dapat memberikan harta peninggalannya dengan cara berwasiat atau hibah. Wasiat dan hibah juga dapat diberikan kepada lembaga termasuk hal ini adalah lembaga keagamaan seperti masjid, madrasah dan yayasan.
Menurut undang-undang, ada dua cara untuk menyelenggarakan pembagian warisan, yaitu:
a. Pewarisan menurut undang-undang ialah pembagian warisan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan darah yang terdekat dengan si pewaris
b. Pewaris berwasiat yaitu pembagian warisan kepada orang-orang yang berhak menerima warisan atas kehendak terakhir (wasiat) si pewaris
Dalam hukum waris berlaku beberapa asas :
- Bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda (yang dapat dinilai dengan uang) saja yang dapat diwariskan
- Bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
Dalam undang-undang pun telah ditetapkan bahwa orang-orang yang berhubung jabatan atau pekerjaannya dengan si meninggal, tidak diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat yang diperbuat oleh si meninggal, misalnya notaris yang membuatkan surat wasiat.
Seseorang dapat terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena :
a. Divonis telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukum 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

2. Hak Mewarisi Menurut Undang-Undang
Garis kekeluargaan untuk menetapkan warisan dapat dibedakan menjadi :
1. Garis menegak (line), ialah garis kekeluargaan langsung satu sama lain misalnya bapak kakek- kakek- bapak- anak- cucu dihitung menurun, kalu sebaliknya dihitung menanjak.
2. Garis mendatar (zijlinie), ialah garis kekeluargaan tak langsung satu sama lain, misalnya paman bapak- paman- keponakan- dan seterusnya.
Dalam B.W.(Burgerlijk Wetboek) kita, terdapat 4 golongan ahli waris yang bergilir berhak atas harta warisan dengan penggantian. Apabila ada ahli waris dari golongan ke-1, maka golongan-golongan yang lain tidak berhak; dan jika golongan ke-1 ini tidak ada, maka golongan ke-2 yang berhak, demikian seterusnya.
Keempat golongan itu adalah :
1. Anak-anak dan/atau keturunannya dan janda
2. Orang tua, saudara-saudara sekandung dan / atau anak-anak keturunannya
3. Kakek-kakek dan nenek-nenek, dan leluhur seterusnya ke atas dari pewaris
4. Sanak keluarga yang lebih jauh dalam garis ke samping sampai derajat ke-6, yaitu saudara-saudara sepupu dari pewaris.

3. Menerima atau Menolak Warisan
Jika terbuka suatu warisan, seorang ahli waris dapat memilih menerima atau menolak warisan itu, atau ada pula kemungkinan untuk menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang si meninggal, yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
Dalam pasal 1045 B.W. berbunyi “ Tak seorang pun wajib untuk menerima harta peninggalan yang diberikan kepadanya.” Tetapi warisan harus diterima atau ditolak untuk bagiannya oleh setiap ahli waris, tidak dapat menerima atau menolak sebagian.
Peraturan-peraturan yang berlaku dalam hal penerimaan atau penolakan warisan secara ringkas dadalah sebagai berikut :
a. Orang yang meninggalkan warisan, tidak diperbolehkan membatasi hak seorang ahli waris untuk memilih antara kemungkinan menerima penuh, menolak atau menerima warisannya dengan beryarat.
b. Pemilihan antara tiga kemungkinan tersebut oleh seorang waris tak dapat dilakukan selama warisan belum berbuka.
c. Pemilihan tidak boleh digantungkan pada suatu ketetapan waktu atau suatu syarat.
d. Pemilihan tidak dapat dilakukan hanya mengenai sebagian saja dari warisan yang jatuh kepada seseorang, artinya jika seorang ahli waris menerima atau menolak, perbuatan itu selalu mengenai seluruh bagiannya dalam warisan.
e. Menyatakan menerima atau menolak suatu warisan, adalah suatu perbuatan hukum yang terletak dalam lapangan hukum kekayaan.
f. Jika seorang ahli waris sebelum menentukan sikapnya, ia meninggal, maka haknya untuk memilih beralih kepada ahli waris-ahli warisnya.


4. Perihal Wasiat atau Testament
Wasiat ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal.
Pada pasal 931 B.W.menentukan bahwa surat wasiat dapat dibuat dengan tiga macam cara, yaitu:
1. Dengan suatu akta olografis atau ditulis tangan. Menurut Code, untuk berlakunya testament olografis, tidak ada syarat bahwa harus disimpan oleh notaris. Pewaris dapat menggunakan seluruh harta peninggalannya dengan surat yang ditulis, ditandatangani serta ditanggali dan disimpannya sendiri.
2. Dengan akta umum. Pembuatan akta umum ini dapat dilakukan dengan dihadiri orang-orang yang tidak ada kaitannya dengan itu, namun tidak disebutkan dalam akta.
3. Penentuan rahasia atau tertutup. Surat wasiat itu dapat ditulis oleh pewaris atau orang lain, tetapi harus ditandatangani oleh pewaris sendiri. Kertas yang memuat penetapan-penetapan atau kertas yang digunakan untuk sampul, harus ditutup atau disegel. Pewaris juga harus menyampaikan surat wasiat tertutup dan bersegel kepada notaris dengan dihadiri empat orang saksi.
Suatu testament dapat ditarik kembali setiap waktu. Hanya pemberian warisan yang telah diletakkan dalam suatu perjanjian perkawinan, tidak boleh ditarik kembali. Sebab, sifatnya perjanjian perkawinan, hanya satu kali dibuat dan tidak dapat diubah atau ditarik kembali. Penarikan kembali testament dapat dilakukan dengan cara :
1. Pencabutan secara tegas, yaitu dengan dibuatnya testament baru di mana diterangkan secara tegas bahwa testament yang dahulu ditarik kembali.
2. Pencabutan secara diam-diam, yaitu dengan dibuatnya testament baru yang memuat pesan-pesan yang bertentangan dengan testament yang lama.

5. Legitieme Portie (Bagian Waris Menurut Undang-Undang)
Para ahli waris dalam garis lencang baik ke bawah maupun ke atas, berhak atas suatu “legitieme portie”, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Peraturan mengenai legitieme portie ini oleh undang-undang dipandang sebagai suatu pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat atau testament menurut kehendak hatinya sendiri.
Tentang berapa besarnya legitieme portie bagi anak-anak yang sah ditetapkan oleh pasal 914 B.W., sebagai berikut :
1. Jika hanya ada seorang anak yang sah, maka legitieme portie berjumlah separuh dari bagian yang sebenarnya, akan diperolehnya sebagai ahli waris dalam undang-undang.
2. Jika ada dua orang anak yang sah, maka jumlah legitieme portie untuk masing-masing 2/3 dari bagian yang sebenarnya akan diperolehnya sebagai ahli waris menurut undang-undang.
3. Jika ada tiga orang anak yang sah atau lebih tiga orang, maka jumlah legitieme portie itu menjadi ¾ dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh masing-masing sebagai ahli waris menurut undang-undang.
Bagi seorang ahli waris dalam garis lencang ke atas, menurut pasal 915 jumlah legitieme portie selalu separuh dari bagiannya sebagai ahli waris menurut undang-undang. Begitu pula menurut pasal 916 jumlah legitieme portie bagi seorang anak yang lahir di luar perkawinan yang telah diakui, adalah separuh dari bagiannya sebagai ahli waris menurut undang-undang.



6. Executeur-Testamentair dan Bewindvoerder
Orang yang akan dapat warisan, berhak untuk menunjuk seorang atau beberapa orang executeur-testamentair atau pelaksanaan-wasiat, yang ditugaskan mengawasi bahwa surat wasiat itu sungguh-sungguh dilaksanakan menurut kehendak si meninggal.
Setiap orang dapat menjadi excuteur. Pasal 1006 B.W.tidak memperkenankan :
a. Wanita-wanita yang kawin.
b. Orang-orang yang belum dewasa
c. Orang yang ditempatkan di bawah kuratel
d. Mereka semua yang tidak berwenang untuk menyelenggarakan perikatan.
Di dalam penunjukan itu, kepada executeur tersebut dapat diberikan kekuasaan untuk menarik semua atau sebagian benda-benda yang termasuk warisan dalam kekuasaannya. Tetapi ia tidak boleh menguasai benda-benda itu lebih dari satu tahun lamanya.
Diantara tugas-tugas dari ececuteure, adalah sebagai berikut :
a. Mengawasi orang-orang yang diberikan legaat oleh si meninggal sungguh-sungguh menerima pemberian legaatnya masing-masing.
b. Membuat rincian mengenai harta peninggalan
c. Menyegel harta peninggalan
d. Berwenang menagih piutang dari harta peninggalan
Orang yang akan meninggalkan warisan, berhak untuk menunjuk seorang atau beberapa orang bewindvoerder yang ditugaskan untuk mengurus kekayaan itu, sedangkan ahli waris hanya dapat menerima penghasilannya saja dari kekayaan tersebut. Bewind ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai kekayaan itu dalam waktu yang singkat dihabiskan oleh ahli waris tadi.

7. Harta Peninggalan yang Tidak Terurus
Jika setelah lewat tiga tahun terhitung mulai terbukanya warisan belum juga ada seorang ahli waris yang tampil ke muka atau melaporkan diri, maka pengurusan harta peninggalan itu akan dilakukan oleh negara, yang akan berhak untuk mengambil penguasaan atas segala barang warisan yang kemudian harta peninggalan itu akan menjadi milik negara.
Seperti telah ditentukan oleh pasal 520 B.W., yaitu “benda-benda pewaris yang meninggal dunia tanpa ahli waris, atau yang harta peninggalannya telah ditinggalkan atau diterlantarkan, menjadi milik Negara.” Menurut pasal 832 ayat 2 B.W., “ Negara wajib memenuhi hutang-hutang sejauh nilai dari benda-benda itu mencukupi.”
Kasus di mana suatu harta peninggalan dipandang tidak dikelola, disebutkan dalam pasal 1126 B.W. kasus ini, adalah :
1. “Jika pada waktu harta peninggalan terbuka, tidak ada orang yang tampil untuk menuntut haknya.”
2. “Jika ahli waris yang dikenal menolak warisan yang sama.”
Untuk harta peninggalan yang tidak ada pengelolanya, maka dalam harta peninggalan terbuka itu, diangkat seorang kurator “atas permohonan orang-orang yang berkepentingan, atau atas usul yang disertai dengan penjelasan dari penuntut umum/jaksa”(Pasal 1127 ayat 1 B.W.).
Adapun tugas dari kurator tersebut adalah :
a. Menyegel serta menyuruh notaris untuk membuat rincian harta peninggalan.
b. Mengelola dan membereskan harta peninggalan
c. Melakukan pemanggilan melalui surat kabar atau dengan cara lainnya untuk melacak ahli waris

8. Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam berlaku bagi orang Indonesia (baik asli ataupun keturunan) yang beragama Islam berdasarkan S.1854 No.129 yang diundangkan di Belanda dengan S.1855 No.2 di Indonesia dengan S.1929 No.22, yang telah ditambah, diubah dan sebagainya terakhir dengan pasal 29 UUD 1945,jo Tap No.II/MPRS/1961 lampiran A No. 34 jo GBHN 1983 Tap No. II/MPR/1983 Bab IV.
Menurut pasal 1714 Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, ahli waris dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Menurut hubungan darah, yaitu ahli waris yang timbul karena hubungan keluarga.
2. Menurut hubungan perkawinan, yaitu ahli waris yang timbul karena adanya ikatan perkawinan antara pewaris dengan ahli waris.

Perihal pembagian waris dalam Kompilasi Hukum Islam, tercantum pada 16 pasal :
- Pasal 176, bagian anak perempuan separoh harta bila sendirian, dan dua pertiga bila dua orang atau lebih
- Pasal 177, bagian ayah sepertiga bila pewaris tidak punya anak; bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian
- Pasal 178, bagian ibu seperenam bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, ibu mendapat sepertiga. Ibu mendapat sepertiga sisa bila ada ayah.
- Pasal 179, bagian duda (suami) setengah jika pewaris tidak ada anak; dan jika ada anak, duda mendapat seperempat.
- Pasal 180, bagian janda (istri) seperempat jika pewaris tidak ada anak; dan jika ada anak, janda mendapat seperdelapan.
- Pasal 181, apabila pewaris tidak memiliki anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
- Pasal 182, apabila pewaris tidak ada ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan sekandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan itu bersama-sama dengan saudara perempuan sekandung atau seayah dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat 2/3. Bila saudara perempuan itu bersama dengan saudara laki-laki maka bagian saudara laki-laki dua bagian saudara perempuan.
- Pasal 183, menyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
- Pasal 184, menyatakan bahwa bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan hakim atas usul anggota keluarga.
- Pasal 185, menyatakan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya kecuali mereka yang tersebut melakukan pembunuhan (Pasal 173). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
- Pasal 186, menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dari keluarga pihak ibunya.
- Pasal 187, menyatakan bahwa bila pewaris meninggalkan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan.
- Pasal 188, menyatakan bahwa para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan.
- Pasal 189, menyatakan bahwa bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
- Pasal 190, menyatakan bahwa bagi pewaris yang beristri lebih dari satu, maka masing-masing berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya. Sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak ahli warisnya.
- Pasal 191, bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.

Dalam Islam memang dikenal bagian laki-laki lebih besar daripada bagian perempuan, maka dari itu Muhammad ali al-Sabuni menerangkan beberapa alasan dari keterangan tersebut :
1. Seorang perempuan telah tercukupi biaya dan kebuthan hidupnya, dan nafkahnya dibebankan kepada anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, atau yang lain dari kerabatnya.
2. Perempuan tidak dibebani tanggung jawab untuk memberi nafkah atas seseorang, berbeda dengan laki-laki yang dibebani memberi nafkah keluarga dan kerabatnya yang lain.
3. Nafkah laki-laki lebih banyak, kewajiban kebendaannya lebih besar, begitupun dengan kebutuhan materialnya.
4. Laki-laki harus memberi mahar kepada istrinya, dan dibebani memberi nafkah finansial seperti sandang, pangan, dan papan kepada istri dan anak-anaknya.
5. Kebutuhan lain-lain keluarga seperti pendidikan, kesehatah dan kebutuhan lainnya dari istri dan anak-anak dibebankan pada suami.



















KESIMPULAN

Hukum waris dalam KUH Perdata pasal 830 adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Pada dasarnya, waris adalah suatu bentuk kasih sayang seseorang, terutama dari orang yang meninggal kepada yang ditinggalkan. Namun, tidak sedikit kasih sayang tersebut berubah menjadi perpecahan karena pembagian hak waris yang dianggap tidak sama rata.
Hukum waris di Indonesia terdiri dari hukum waris menurut adat, hukum waris perdata barat, dan hukum waris Islam. Dalam setiap hukum waris tersebut membahas tentang pewaris, ahli waris, harta waris, pembagian harta waris, wasiat, dan sebagainya yang berkaitan dengan waris.




DAFTAR PUSTAKA

Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indnesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1986
Kompilasi Hukum Indonesia. Departemen Agama R.I. Jakarta. 2001
Hasbiyallah. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007
Prawirohamidjojo Soetojo. Hukum Waris Kodifikasi. Surabaya: Airlangga University Press. 2005
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. 2001
Tutik Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2006

Teori Gerak Ganda dan Teori Limitasi Hudud

A. PENDAHULUAN
Sejak munculnya reformisme Islam zaman modern lewat abad ke-19, tumpuan pada cara Islam diinterpretasikan dan dipraktiskan semakain ketara. Tafsir Al-Quran merupakan suatu wilayah yang semakin mendesak dalam proses pemecahan masalah umat.
Maka, mau tidak mau reformisme Islam harus memberikan fokus pada corak tafsir yang dominan dalam masyarakat, karena berkepentingan di dalam pembentukan pola pemikiran regresif dan progresif.
Tokoh Islam modern yang peling awal menggaskan corak tafsir dinamis bagi membuka ruang ijtihad semasa dan memecahkan kemandekan pemikiran Islam kontemporer adalah Fazlur Rahman, dalam teorinya yaitu Teori Double Movement (Teori Gerak Ganda).
Kemudian, perdebatan soal penerapan Hukum Islam (syari`ah) di sejumlah nagara sampai sekarang merupakan persoalan yang belum kunjung selesai, salah satunya adalah dalam Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Sejak runtuhnya Khalifah Usmaniyah di bagian barat dunia Islam, serta akibat kolonisasi negara-negara Islam oleh Eropa, Hukum Pidana Islam secara bertahap digantikan oleh Hukum Pidana Eropa.
Hal inilah yang selanjutnya menimbulkan kegelisahan intelektual seorang Muhammad Syahrur, salah seorang Pembaharu pemikiran Islam yang menempatkan Al-Quran sebagai fokus kajiannya dengan pola interpretasi modern. Dalam Memahami Al-Quran, Syahrur termasuk tokoh yang menolak kaum Fundamentalis yang mengkultuskan doktrin generasi awal Islam, tetapi tidak pula termasuk kaum sekularis yang menolak segala warisan Islam. Syahrur lebih menekankan kontekstualisasi sebuah teks dalam kehidupan masa kini. Sehingga kemudian memunculkan sebuah gagasan cerdas untuk menjembatani antara pihak yang pro dan kontra terhadap penerapan hukum Islam melalui konsep Limitasi dalam jinayah (The Limit Thory/Teori Batas).
Maka dalam hal ini, pemakalah akan memaparkan sedikit banyaknya tentang kedua teori tersebut, yaitu Teori Double Movement dan Teori Limitasi Hudud.

B. PEMBAHASAN
1. Teori Double Movement
Ketika syariat Islam dipahami secara simbolik dan direduksi dengan kawasan wajib tutup aurat, diawasi oleh polisi syariat, penerapan hukum cambuk, atau hukum potong tangan, tampaknya tidak relevan dan bahkan kontraproduktif bila diterapkan di Indonesia yang pluralistik ini.
Namun, jika dipahami dengan paradigma liberal (syariat liberal), maka akan menemukan karakternya yang inklusif dan toleran, sekaligus relevan dengan realitas kekinian yang dihadapkan pada isu pluralisme, demokrasi, dan HAM, yang menjadi agenda utama politik dunia global, termasuk di Indonesia. Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: A Sourcebook (1998), memetakan syariat Islam dalam visi liberalnya menjadi tiga.
Pertama, liberal syariah, dalam pengertian bahwa syariat dalam teks tertulis adalah bersifat liberal jika dipahami secara benar. Sikap liberal ini bukan semata-mata pilihan manusia, tetapi perintah dari Tuhan yang termaktub dalam Alquran.
Kedua, silent syariah, dalam pengertian bahwa tidak semua persoalan hidup tertampung dalam syariat. Karena dalam kenyataannya, syariat tidak menyediakan jawaban atau konsep tentang masalah tertentu, sehingga penyelesaiannya diserahkan kepada manusia atau menggunakan mekanisme ijtihad.
Ketiga, interpreted syariah, dalam pengertian bahwa praktik syariat dipahami dan dijelaskan oleh penafsiran manusia. Interpretasi manusia terhadap syariat dilakukan sebagai model kreativitas intelektual terhadap doktrin agama yang memang membutuhkan tafsir karena tidak tercakupnya semua problem kehidupan manusia.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud syariat liberal adalah menafsirkan syariat Islam secara substansial dalam konteks masyarakat kekinian. Perlu dicatat, bahwa kata ‘liberal’ yang dilekatkan pada kata ‘syariat’ sama sekali bukanlah penggagahan, apalagi konspirasi manipulatif terhadap syariat itu sendiri. Melainkan, meminjam terminologi Ulil Abshar Abdalla (2002), menafsirkan syariat Islam secara non-literal, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Perubahan sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan hukum yang terjadi dalam dunia Islam yang berinteraksi dengan dunia internasional non-Islam, selalu melibatkan proses dialektika yang intensif antara great tradition (tradisi besar) pada wilayah alam pikiran, konsep, ide, teori, keyakinan, dan gagasan. Sedangkan little tradition (tradisi kecil) yang merupakan wilayah aplikasi praktis di lapangan dari teori, konsep, ide, keyakinan dan gagasan tersebut dalam wilayah kehidupan konkrit pada budaya dan tatanan sejarah tertentu. Perubahan (change) akan terjadi ketika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong yang besar dibandingkan dengan tradisi keilmuan yang telah ada dan mapan sebelumnya. Jika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong yang lebih kecil dibandingkan kekuatan tradisi keilmuan yang lama, maka yang terjadi adalah tidak adanya perubahan.
Oleh karena itu, perubahan yang sangat mendesak dalam Dunia Islam yaitu pengalihan pemahaman Al-Qur’an dari hukum Islam (Fiqh) yang sifatnya teoritis dan normatif berkisar pada formalisme agama Islam menjadi hukum Islam yang kontekstual sesuai dengan sosiologis legal formal sekarang ini. Kontribusi teori double movement Fazlur Rahman mencoba melakukan terobosan baru dengan merekonstruksi pemahaman terhadap Al-Qur’an yang compatible dengan kehidupan kontemporer melalui metode penafsiran hermeneutika.
Begitu pula pentingnya membedakan antara legal spesifik dan ideal moral yang dikenal dengan istilah gerakan ganda (double movement). Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik adalah ketentuan hukum yang ditetapkan secara khusus. Ideal moral al-Qur’an lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya sebab ideal moral bersifat universal. Dengan ini Rahman berharap agar hukum-hukum yang akan dibentuk dapat mengabdi pada ideal moral, bukan legal spesifiknya karena al-Qur’an selalu memberi alasan bagi pernyataan legal spesifiknya. Langkah yang dilakukan, pertama memperhatikan konteks kesejarahannya baik mikro maupun makro ketika ayat diwahyukan. Dari sini bisa diambil pemahamn yang utuh tentang konteks normative dan historisnya suatu ayat maka timbullah istilah legal specific (praktis temporal) dan moral ide (normative universal).
Kedua, menerapkan nilai dan prinsip umum tersebut pada konteks pembaca al-Qur’an kontemporer. Pendekatan ini oleh Rahman digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat hukum dan sosial. Di sini terlihat keberanjakan Rahman dari metodologi ushul fiqh lama yang cenderung literalistik dan perlunya penguasaan-penguasaan ilmu-ilmu bantu yang bersifat kealaman maupun humaniora agar para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah.
A. Persoalan Pemahaman dan Pendekatan Al-Quran
Dalam pemahaman dan pendekatan Al-Quran ini, Fazlur Rahman memakai Hermeneutika (pemahaman). Metodologi tafsir al-Qur’an Fazlur Rahman dinisbatkan dengan hermeneutika, bukan tafsir, ta’wil dalam pengertian konvensional sebagaimana yang lazim digunakan oleh para mufasir. Rahman sendiri tidak pernah mengklaim jenis hermeneutika yang dianutnya. Namun karena teori interpretasinya menampakkan kebaruan dan progresivitas, para pengamat menggolongkan dalam kajian hermeneutika. Ada tiga kata kunci dalam memahami hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, yakni pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda, dan pendekatan sitetis-logis.
Aplikasi hermeneutika dalam pemahaman Al-Qur'an merupakan sebuah keniscayaan sejarah sebagai sebuah evolusi metodologis dari triadik metode penafsiran yang dikembangkan oleh umat Islam, yaitu tafsir takwil hermeneutika. Artinya, sebagai sebuah perangkat metodologis pembacaan Al-Qur'an, hermeneutika merupakan bagian integral perjalanan panjang sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur'an. Sejumlah gagasan konseptual dalam tradisi hermeneutika seperti keharusan mempertimbangkan konteks sosial pembaca maupun teks, konsep teks itu sendiri, keragaman potensial makna teks, mempertimbangkan kondisi audiens sebagai sasaran teks merupakan kumpulan konsep yang erat kaitannya, bahkan tidak lain merupakan dari istilah-istilah metodologis yang terdapat dalam tradisi kajian 'Ulum Al-Qur'an.
B. Operasi Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman
1. Hukum
Poligami
Poligami merupakan isu yang selalu muncul dalam hukum keluarga. Secara umum ulama Pakistan berpandangan bahwa poligami dibolehkan dalam Islam bahkan dijustifikasi dan ditoleransi oleh al-Qur’an sampai empat istri. Pandangan ini bagi Rahman mereduksi iedal moral al-Qur’an. Praktik ini tidak sesuai dengan harkat wanita yang memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki sebagaimana dinyatakan al-Qur’an. Karena itu, pernyataan al-Qur’an yang membolehkan poligami hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Ada syarat yang diajukan al-Qur’an yang tidak mungkin dipenuhi laki-laki, yakni berlaku adil. Dalam kasus ini, klausa tentang berlaku adil harus mendapatkan perhatian dan niscaya punya kepentingan lebih mendasar ketimbang klausa spesifik yang membolehkan poligami. Jadi, pesan terdalam al-Qur’an tidak menganjurkan poligami, melainkan monogami. Itulah ideal moral yang hendak dituju al-Qur’an.

Potong Tangan
Dalam hukum potong tangan bagi pencuri, menurut Rahman, ideal moralnya adalah memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi. Secara historis-sosiologis, mencuri menurut kebudayaan Arab tidak saja dianggap sebagai kejahatan ekonomi, melainkan juga kejahatan melawan nilai-nilai dan harga diri manusia. Namun sejalan perkembangan jaman, mencuri hanyalah kejahatan ekonomi, tidak ada hubungannya dengan pelecehan harga diri. Karenanya, bentuk hukumannya harus berubah. Mengamputasi segala kemungkinan yang memungkinkan ia mencuri lagi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang lebih manusiawi, misalnya penjara atau denda. Jadi hukum potong tangan adalah budaya Arab, bukan hukum Islam.
2. Metafisika
Tuhan
Dalam interpretasi tentang Tuhan, Rahman merespon dua pemikiran, Barat dan Muslim. Orang Barat banyak yang menggambarkan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai suatu konsentrasi kekuatan semata, bahkan sebagai kekuatan yang kejam; raja zalim. Di kalangan Muslim Mu’tazilah dan Asy’ariyah telah mereduksi makna hubungan Tuhan dan manusia. Mu’tazilah memberi peran yang besar kepada manusia dan mengecilkan peran Tuhan sehingga manusia tampak benar-benar ”bertanggungjawab”. Asy’ariyah memandang manusia tidak memiliki kekuatan sama sekali, sehingga Tuhan tampak sebagai yang maha kuasa. Sementara kaum sufi menganut paham pantheisme, semua adalah Tuhan.
Menurut Rahman, ada tiga hal yang sering ditekankan al-Qur’an sebagai upaya pemberian peringatan kepada manusia, (1) segala sesuatu selain Tuhan bergantung kepada tuhan, (2) Tuhan adalah Maha Pengasih, dan (3) aspek-aspek ini mensyaratkan hubungan yang tepat antara Tuhan dan manusia, hubungan yang dipertuan dan hamba-Nya, yang pada akhirnya mengkonsekuensikan hubungan yang tepat pula di antara sesama manusia.
C. Implikasi Metodologis Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman
- Menyuguhkan metodologi baru dalam pengembangan keilmuan Islam
Hermeneutika Rahman adalah hermeneutika yang memadukan akar tradisional Muslim dengan temuan hermeneut Barat modern. Dinamakan hermeneutika al-Qur’an karena hermeneutika difungsikan sebagai alat untuk menafsirkan kitab suci al-Qur’an.
- Menggeser paradigma dari wilayah metafisik-teologis ke wilayah etis-antropologis
Teori gerakan ganda membuat hermeneutika Rahman menebarkan nilai-nilai etis karena ideal moral menjadi tujuan utamanya.
- Menegakkan etika sosial dalam Islam modern.
Pergeseran paradigma dari dari wilayah metafisik-teologis ke wilayah etis-antropologis merupakan pembaharuan atas tujuan etis; tujuan yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai mahluk luhur.
D. Telaah atas Teori Qiyas dan Double Movement
Tradisi hukum Islam (fiqh) mengenal adanya sumber-sumber hukum yaitu al-Qur’an,
sunnah , ijma’ dan qiyas. Untuk menjelaskan tentang proses qiyas, asy-Syafi’i menegaskan sekurang-kurangnya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, jika Allah dan rasulnya telah mengharamkan sesuatu secara tersurat atau menghalalkannya karena alasan (‘illat/ma’na) tertentu, kemudian kita dapatkan hal serupa tetapi tidak ada nash khusus di dalam al-Qur’an atau Sunnah, maka kita bisa memberikan hukum haram atau halal berdasarkan fakta bahwa hal itu mempunyai essensi (‘illat) yang sama dengan yang telah ditetapkan status hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah tadi. Kedua, dalam hal dua kasus yang hampir-hampir sama, maka analogi (qiyas) harus didasarkan atas kemiripan yang paling lengkap, terutama dari sudut lahiriah. Dalam hubungan ini, landasan penetapan hukum model qiyas asy-Syafi’i memiliki kesamaan secara struktur logika dengan cara berfikir Aristoteles.
Akan tetapi, landasan penemuan ‘illat hukum harus didasari pada apa yang ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Dalam konteks ini, peran akal ada tetapi dibatasi oleh peran teks.
Kesinambungan antara peran akal dan teks pada periode kontemporer ditunjukan oleh satu tesis yang dikeluarkan oleh Fazlur Rahaman tentang gerak ganda (double movement) yang digunakan untuk membaca dan memahami al-Qur’an, secara khusus hukum Islam.
Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu “ideal moral” dan ketentuan legal spesifik al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, dalam berbagai penjelasannya, Rahman mengusulkan agar dalam memahami pasan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang sehingga al-Qur’an dapat dipahami dalam konteks yang tepat. Aplikasi pendekatan kesejarahan ini telah membuat Rahman menekankan akan pentingnya tujuan atau “ideal moral” al-Qur’an dengan legal spesifiknya.
“Ideal moral” yang dituju al-Qur’an lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifik. Melihat hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa sekalipun Rahman berusaha untuk mengkontektualisasikan ajara al-Qur’an, termasuk ajaran hukum, tetapi ia tidak lepas dari ketergantungan terhadap teks. Karena “ideal moral” adalah prinsip umum yang dibangun oleh al-Qur’an sebagai teks suci itu sendiri.
Teori double movement di atas maupun teori qiyas dalam tawarannya memiliki logika berfikir masing-masing, namun hal yang tidak dapat dinafikan bahwa kedua teori ini memiliki kesamaan dalam hal memperlakukan teks agama, yaitu mengarahkan suatu pemikiran tentang substansi teks. Hal ini menarik untuk dikaji karena menurut asy-Syatibi yang dikutip Danusiri bahwa golongan pola pikir gabungan antara tektualis dan kontekstualis (mungkin juga rasionalitas) merupakan golongan yang matang intelektualnya (rāsikhun/profesional)dalam mengetahui maksud syara’.

2. Teori Limitasi Hudud
Umat Islam telah berada dalam kehidupan yang sarat dengan persoalan yang kompleks, perubahan nilai yang terjadi akibat pengaruh globalisasi yang tak terelakkan mengharuskan pengkajian kembali beberapa aspek teologis dan kaidah Islam baik tentang hukum, negara, ataupun hal-hal fundamental lainnya. Aturan-aturan Islam yang digali dan diperoleh melalui ijtihad oleh para tokoh muslim pada abad pertengahan banyak yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Hal ini logis karena koridor-koridor yang telah ditetapkan oleh para tokoh muslim ketika itu tak lepas dari situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Oleh karenanya maka diperlukan ijtihad untuk mengakomodasi semua permaslahan kontemporer yang belum terumuskan dalam ijtihad ulama terdahulu.
Dalam rangkaian perbincangan di sekitar masalah jinayah hampir semua literatur fikih Islam menyajikan pembahasan tentang bughah (pemberontakan). Pendapat Syahrur mengenai teori hudud (limit) menarik untuk dibahas berkaitan dengan permasalahan itu. Syahrur memahami bahwa al-Qur’an memiliki muatan absolut tetapi dengan pemahaman yang relatif sehingga senantiasa salih li kulli zaman wa makan. QS. al-Hujurat ayat 9 menyebutkan bahwa hukuman bagi pelaku bugahh adalah hukuman mati. Persoalan yang muncul kemudian apakah hukuman mati itu diberlakukan sama kepada semua pelaku baik otak/dalang maupun orang yang hanya ikut-ikutan? Hal ini menarik karena Islam sebagai aturan memiliki dimensi yang luas sehingga memungkinkan manusia untuk memepergunakan akalnya secara maksimal tetapi tetap dalam batasan nilai moral luhur yang menjadi spirit Islam itu sendiri.
Syahrur, seorang ilmuwan sains berkebangsaan Syiria memiliki sebuah teori kontroversial yakni Teori Batas (The Theory Of Limit). Melalui teori ini, ia mencoba melakukan pembacaan ulang terhadap al-Qur’an. Syahrur memberikan interpretasi berbeda mengenai terma-terma penting dalam al-Qur’an yang kemudian membawanya untuk merumuskan teori hudud ini. Istinbat hukum yang dilakukan Syahrur menggunakan metode tartil, yaitu dengan mengumpulkan dan menganalisis ayat-ayat yang memiliki satu tema kemudian menarik kesimpulan berdasarkan analisisnya itu. Berdasarkan metode ini, Syahrur berpendapat bahwa ajaran Islam memiliki sifat istiqamah (lurus) dan hanifiyyah (fleksibel). Salah satu teorinya yang penyusun pakai dalam menganalisis hadd bugahh adalah teori batas maksimal (halatu al-hadd al-a’la). Dalam teori ini dijelaskan bahwa manusia dimungkinkan untuk melakukan ijtihad dengan memberi hukuman lebih ringan daripada yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an.
Teori ini sempat menggemparkan dunia Arab karena dianggap menyimpang dari asumsi kebenaran yang selama berabad-abad diyakini oleh masyarakat Syiria dan Arab. Secara terminology, kata hudud merupakan bentuk plural dari kata Al-hadd (batas/hukum). Dalam kecenderungan ahli fiqh (fuqaha), hudud diartikan sebagai hukuman yang sudah ditentukan Allah.
Maksud dari hukuman yang telah ditentukan Allah adalah bahwa hukuman itu sudah dibatasi, sudah ditentukan, tidak boleh dikurangi atau ditambah. Dengan begitu, hudud hanya diketahui dari teks eksplisit nash (ketetapan Allah), tidak boleh didasarkan atas makna implisit nash maupun ijtihad (pemikiran manusia). Dengan kata lain, hudud adalah hukuman yang sudah secara jelas ditetapkan oleh teks (nash Al-Qur’an dan sunnah) yang berlaku secara mutlak.
Dalam hal ini, Syahrur mempunyai pemahaman berbeda dengan ’pakem’ fuqaha. Syahrur memaknai hudud adalah sebagai batasan, yang dapat diubah sesuai kondisi dan bukan ketentuan mutlak. Artinya, bahwasanya segala ketentuan yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an dan sunnah merupakan batasan dari Allah. Sehingga, batasan itu dapat saja di geser untuk memperoleh ’maslahah’ terhadap situasi zaman modern ini.

Pemahaman Syahrur terhadap risalah (ketetapan hukum) Muhammad, berbeda dengan risalah Nabi Musa atau Isa. Karakteristik khusus risalah Nabi Muhammad adalah sifatnya yang hududi, bukan ayni (hukum limitatif). Dengan demikian, risalah tersebut berisi hukum-hukum hanif (fleksibel) yang mampu berinteraksi dengan tuntutan situasi dan kondisi lokal-temporal-spasial. Sehingga, sudah seharusnya hukum Islam direkontekstualisasikan terhadap keadaan yang sedang berlangsung.
Pertanyaanya, apakah dapat diaplikasikan secara utuh di Indonesia? Tentunya tidak. Dalam kerangka ini, Dr. Muhyar Fanani dalam buku tugas akhir doktornya ini memberikan terobosan spektakuler dalam penyempurnaan teori hudud Syahrur. Sehingga teori ini dapat dieplikasikan secara lebih efektif di Indonesia.
Dalam buku ini Muhyar mengkritisi teori Syahrur dan menyempurnakanya. Muhyar menilai bahwa teori hudud Syahrur tidak mampu keluar dari hegemoni positivisme-nomotetik yang pada akhirnya akan melahirkan ilmu yang monologal dan sulit menumbuhkan emansipasi masyarakat karena masyarakat masih didominasi oleh positivisme ilmiah (logika nomotetis), jika ini dibiarkan, jutru akan menumbuhkan otoritarianisme, sebab tradisi positivisme mengandung kepentingan teknis, yakni mengontrol dan mendominasi.
Dari sini Muhayar membuktikan kemampuan akademiknya dengan melahirkan teori hudud kritis. Teori ini memberikan perubahan pada hudud Syahrur yang pada dasarnya megedepankan ilmu-ilmu kealaman dan dominasi para ilmuan dalam menetukan hukum dengan metodologi ilmu-ilmu humaniora, terutama metode hermeneutika yang secara tegas membiarkan subyek (ilmuan) meleburkan diri dengan obyek (masyarakat) dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan hukum setelah hudud Allah ditemukan.
Diantara perubahan Muhyar adalah melengkapi teori ini dengan logika ideografis dan refleksi-diri, yaitu menafsirkan makna dengan tindakan-tindakan sosial, dan bukan menjelaskan menurut sebab-akibat. Dengan demikian, subjek dapat menguak makna, bukan sekedar menemukan kausalitas yang niscaya. Dalam kerangka ini, teori hudud kritis menuntut ilmuan (subjek) untuk berpartisipasi dalam objek. Teori hudud yang telah diperbarui inilah yang akan melahirkan masyarakat madani.
Inti dari masyarakat madani adalah adanya emansipasi masyarakat sehingga masyarakat memiliki kebebasan dalam berkehendak, berkesadaran, dan bebas dari segala bentuk distorsi komunikasi akibat dari adanya dominasi pihak luar yang membelenggu. Dalam kerangka ini, Muhyar dalam ‘hudud kritisnya’ menggunakan pendekatan historis dan interpretatif-kritis.
Selain itu, ia juga menambah metodenya dengan refleksi-diri. Dengan demikian, teori ini akan mampu memahami manusia dari dimensi interaksi sosial-budaya, baik horisontal (intersubjektif) dan vertikal (kesejahteraan dan aspirasi) dan melalui analisis reflektif sehingga mampu membebaskan manusia dari belenggu ideologis atau struktur politik yang mengurungnya.
A. Pemikiran Muhammad Sahrur Syahrur tentang Teori Batas (The Limit Theory)
Latar belakang pendidikan Muhammad Syahrur yang berbasis teknik, menghantarkan pada penelitiannya sangat kental mengedepankan sifat-sifat empiris, rasional dan ilmiah. Menurutnya, pemikiran-pemikiran dasar metodologis ilmiah memberikan hasil yang berbeda dibanding produk-produk pemikiran sebelumnya (salaf).
Gagasan pemikiran Syahrur ini secara umum ingin mencari solusi alternatif terhadap penerapan hukum pidana Islam, yang selama ini implikasi pemahaman mayoritas fuqaha membawa dampak pada penerapannya yang kaku. Ia memandang bahwa agama islam adalah agama fitrah dan hanafiyyah senantiasa mengalami perubahan. Syahrur menemukan bahwa terdapat dua aspek pemahaman keislaman yang dilupakan selama beberapa masa, yaitu; al-istiqamah dan al-hanifiyyah. Melalui analisis linguistik, Syahrur menjelaskan bahwa kata al-hanif berasal dari kata (musytaq) dari hanafa yang berarti bengkok, melengkung (hanafa); atau bisa pula dikatakan untuk orang yang berjalan di atas dua kakinya (ahnafa) dan atau berarti orang yang bengkok kakinya (hanufa). Kata ini juga dibandingkan dengan kata janafa, yang berarti condong kepada kebaikan. Adapun kata al-Istiqamah, musytaq dari kata “qaum” yang memiliki dua arti: (1) kumpulan manusia laki-laki dan (2) berdiri tegak (al-intisab) dan atau kuat (al-‘azm). Berasal dari kata al-intisab ini muncul kata al-mustaqim dan al-istiqamah, lawan dari melengkung (al-inhiraf); sedangkan dari al-‘azm, muncul kata al-din al-qayyim (agama yang kuat dalam kekuasaannnya); tentang makna kuat ini seperti dalam Q. Al-Nisa’: 34 dan al-Baqarah: 255.
Setelah ia menemukan dua kata kunci, yakni al-istiqamah dan al-hanifiyyah, ia memperkenalkan apa yang disebutnya “teori limitasi” atau teori batas (nazariyah al-hudud). Asumsi dasarnya adalah bahwa Allah dalam menetapkan hukum di dalam Al-Qur’an ada batasan-batasan dinamis dan bisa berubah. Allah SWT Di dalam Al-Qur’an menetapkan konsep hukum maksimum dan minimum (al-istiqamah / curvature), dan manusia bergerak dari dua batasan tersebut (al-hanifiyyah/ straghtness).Atas dasar pemikiran ini Syahrur yakin bahwa Islam akan tetap sesuai dengan perkembangan tata kehidupan manusia serta mampu merespon atas berbagai problem yang muncul kapan dan di manapun saja. Terkait dengan teori batas (teori limitasi) yang dikemukakannya, Syahrur menjelaskan enam model teori batas, yaitu:
1. Batas minimal;
2. Batas maksimal;
3. Batas maksimal dan minimal sekaigus;
4. Batas minimal dan maksimal sekaligus tetapi dalam satu titik koordinat;
5. Batas maksimal dengan satu titik yang cenderung mendekati garis lurus tapi tidak ada persentuhan;
6. Batas maksimum positif dan tidak boleh dilampaui, batas minimum negatif boleh dilampaui.
Mengacu pada Teori batas (limit Theory) hukum Islam diatas, Syahrur kemudian menyatakan bahwa hukuman dalam pidana Islam (jinayat) yang dianggap kejam dan tidak berprikemanusiaan seperti potong tangan atau hukuman badan (sehingga akhirnya menimbulkan pro dan kontra), pada dasarnya bukanlah hukuman yang serta merta dapat diberlakukan seketika. Sebab sebenarnya hukuman-hukuman tersebut ialah uqubat maksimal dalam hudud. Artinya hukuman demikian seharusnya dapat diganti dengan hukuman yang lain, seperti hukuman penjara misalnya. Karena mungkin saja terpidana belum layak atau pantas untuk mendapatkan hukuman maksimal tersebut, setelah mempertimbangkan lebih jauh kondisi objektif yang ada.
Misalnya, jika dilihat tentang ketentuan tangan yang harus dipotong juga berbeda-beda sesuai dengan pemahaman mereka dalam memberikan interpretasi terhadap makna yadd (tangan). Sehingga dari interpretasi akhirnya melahirkan pendapat bahwa tangan yang harus dipotong adalah sampai pergelangan tangan, ada juga yang berpendapat sampai siku, ada pula yang berpendapat sampai lengan, tetapi ada juga yang berpendapat cukup sampai pangkal jari, sesuai pemahaman mereka terhadap arti kata “yadd”. Dengan demikian persoalan seberapa tangan seseorang harus di potong juga masih terjadi perbedaan yang tajam. Implikasi dari perbedaan ini akan berbuntut pada penetapan yang tidak pasti pula, sehingga kemungkinan salah dalam menetapkan sangat memungkinkan sekali. Sedangkan menetapkan hukum yang masih belum jelas landasannya akan sangat membahayakan.

B. Implikasi Teori Limitasi Syahrur pada Penerapan Hukum Islam
Dengan munculnya karya monumental Syahrur, yang mendasarkan basis pemikirannya pada teori limitasi ini, kini Syahrur termasuk sederetan orang yang digolongkan sebagai pemikir Islam liberal. Keliberalnya dalam berfikir nampak dalam prinsip hukum Islam yang dibangunnya, yakni al-Islam salih likull zaman wa makan (bahwa Islam senantiasa selaras dengan perkembangan waktu dan tempat). Konsekuensi dari pemikirannya ini membawanya pada upaya serius dalam melakukan pembaharuan hukum Islam melalui teori limitasinya. Konsep limitasi Syahrur, yang dijadikan sebagai kerangka metodologi dalam memahami persoalan jinayah, paling tidak akan ikut memberikan alternatif pemecahan terhadap kebekuan persoalan ini.
Persoalan jinayah yang oleh mayoritas fuqaha’ dipahami sebagai ayat qath’i telah menjebak pada produk hukum yang kaku dan terkesan tidak mengikuti perkembangan jaman. Dengan konsep limitasi ini, paling tidak muncul alternatif pemecahan untuk mencari solusi dalam memahami persoalan jinayah ini. Teori litimasi yang dibangun Syahrur merupakan interpretasi yang berangkat dari sebuah kesadaran bahwa jarimah hudud (sebagaimana para fuqaha definisikan), memiliki landasan sangat kuat di dalam Al-Qur’an, sehingga implikasinya hukum jarimah hudud sulit di hapuskan. Karena itu, menurutnya yang dapat dilakukan adalah; pertama, meredifinisi versi hukuman hudud dan kedua, melakukan pembatasan katagori yang termasuk dalam hudud. Dengan demikian Syahrur termasuk mendukung suatu kebijakan hukum hudud yang manusiawi yang didasarkan atas penalaran dengan berusaha menyelaraskan antara kebijakan-kebijakan pengambilan hukum tersebut dengan teks-teks Al-Qur’an yang menurut Syahrur termasuk kategori ayat haddiyah (ayat yang menerima limitasi).
Perumusan Syahrur dalam pembagian ayat-ayat qath’i menjadi ayat ainiyah dan haddiyah misalnya, merupakan suatu interpretasi yang patut mendapatkan apresiasi, karena telah membuka kita pada suatu penafsiran yang tidak berhenti. Itulah sebabnya ia mengemukakan bahwa ayat muhkamat menurut Syahrur dikategorikan sebagai ayat yang masih menerima ijtihad, sebagaimana ayat-ayat mutasyabihat masih menerima ta’wil.
Menurut Syahrur, karena hudud merupakan hukuman yang cukup keras dan kejam yang bisa mengandung konsekuensi-konsekuensi politik negatif dalam aplikasinya, maka hudud sebaiknya dibatasi pada jenis pelanggaran yang hukumannya disebutkan secara khusus di dalam Al-Qur’an. Menurut Syahrur hudud hanya dibatasi empat jenis pelanggaran, yaitu sariqah, hirabah, pembunuhan, zina dan qazaf. Sedangkan untuk meredefinisi versi hukuman hudud, Syahrur memahaminya dengan teori batas. Ayat-ayat hudud yang selama ini tidak menerima interpretasi karena dipandang sebagai ayat qath’i oleh Syahrur dipahami sebagai ayat haddiyah, yaitu suatu ayat yang bisa menerima limitasi dan perubahan. Kesalah pahaman para Ulama memahami ayat haddiyah dengan memposisikan menjadi ayat ‘ainiyyah (ayat yang mesti dipahami apa adanya), menurut Syahrur telah menjebak mereka dalam kekeliruan yang fatal.
Dalam memahami hukum tindak pidana pencurian misalnya, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah: 38, ia pahami dengan teori batas maksimal, karena ayat ini dikategorikan sebagai ayat hadiyyah. Pada ayat ini Allah menjelaskan bagi pelaku pencurian dengan hukuman potong tangan sebagai batas hukuman maksimal. Tentunya bagi tindak pidana pencurian yang tidak mengharuskan ditetapkan hukuman maksimal, maka bisa ditetapkan hukuman yang lebih ringan. Selanjutnya ia mengusulkan agar para fuqaha atau pelaksana hukum ketika hendak menerapkan hadd Allah yang berupa batasan maksimal harus benar-benar memahami definisi dan karakteristik yang didasarkan pada situasi dan kondisi yang melingkupi persoalan tindak pidana itu terjadi.
Implikasi dari konsep limitasi yang digunakan untuk memahami jinayah ini paling tidak pertama; akan memberikan ruang gerak dan kelonggaran bagi para yuris muslim serta praktisi hukum melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat hudud, yang selama ini dianggap sudah final dan jelas oleh jumhur fuqaha, dan memandang tidak perlu lagi ijtihad. Interpretasi Syahrur dalam hukum pidana Islam (jinayah), membawanya pada keputusan penerapan hukum Islam tidak kaku, karena sifatnya yang menerima perubahan (hanif), tetapi tetap berpegang pada ketetapan yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur’an (al-istiqamah). Sifat kaku yang terdapat pada jarimah hudud, justru akan mengakibatkan hukum Islam sulit untuk diterapkan. Karena disamping persoalan internal umat Islam yang masih mempersoalkan tentang efektifitas dan ketetapan penerapan hukum jarimah hudud, ia juga akan berbenturan dengan kesepakatan-kesepakatan regional dan internasional yang dengan gigih menyuarakan demokratisasi dan perlindungan Hak-Hak Asai Manusia.
Implikasi kedua; akan memberikan kesempatan kepada para yuris muslim dan praktisi hukum (Islam) untuk menetapkan kembali hukuman bagi pelaku pidana Islam (hudud), sesuai dengan kondisi obyektif yang ada serta ruang dan waktu yang menyertainya. Sehingga diharapkan rumusan-rumusan hukum pidana Islam ini lebih menedepankan aspek-aspek kemanusiaan, edukatif dan keadilan.
C. Keunggulan Teori Batas
Sahrur memberikan satu sumbangan besar sekaligus penawaran baru dalam ushul fiqh; Rekonstruksi metodologi ijtihad. Sebagian besar ayat-ayat hudud telah di klaim sebagai ayat muhkamat yang berisi penafsiran tunggal. melalui teori batasnya, sahrur mengajak untuk menggunakan qiraah mutakarirrah (pembacaan ulang).
Teorinya juga mempermudah kita melihat hukum Allah dengan lensa yang lebih jelas, yaitu dengan batas maksimal, minimal, juga terbukanya manusia untuk berijtihad terhadap hukum yang ada dalam al Quran yang sebelumnya tidak elastis. Dalam masalah warisan misalnya, dengan teori barunya ini perempuan menjadi punya hak yang sama seperti laki-laki, padahal ulama’ dulu sudah tidak mau merubah takaran 2 banding 1 untuk laki-laki.
D. Kritik atas Teori Batas
1. kurang kejelasannya pengelompokan atau penempatan suatu ayat dalam enam teori batas, khususnya al Hadd al Adna dan al Hadd al A’la. Hukuman pencuri misalnya. Sahrur memasukkanya dalam teori kedua (Al-Hadd al-A’la) yang hanya mempunyai batas maksimum. Hukuman pencuri tidak boleh melebihi potong tangan, bahakan boleh dikurangi karena mempertimbangkan keadaan pencuri. Lalu, bagaimana jika ada yang mencuri dokumen (sangat) penting negara, apakah hanya di potong tangan. Dalam kasus ini, mungkin saja orang lain akan memasukkanya ke teori pertama (al Hadd al Adna) yang hanya punya batas minimal, dalam hal ini potong tangan.
2. Sahrur tidak bisa lepas dari kerangkeng tektualisme. Semua penawarannya, terutama teori batas berangakat dari teks. Permasalah pokok atas bahasa, menjadikan teori ini tetap terpenjara dalam aksara Alquran. Ia hanya bermain dalam kata-kata alquran. Menganilisis kalimat dan ayat lalu memasukannya dalam teori. Mungkin ini akibat dari keahliannya dalam ilmu eksact yang bersifat kaku.

C. PENUTUP
Kesimpulan
Logika teori double movement yang dikemukakan Fazlur Rahman adalah perpaduan antara logika induktif dan deduktif. Pada gerakan pertama adalah logika induktif yang bertujuan untuk menemukan “tujuan” atau “ideal moral” yang dalam pelacakannya ternyata merupakan usaha penyempurnaan terhadap qiyas yang sudah ada (karena qiyas yang sudah ada tidak dapat menemukan ‘illat hukum dengan klasifikasi yang sistematis). Pada gerakan pertama, tentunya, Rahman terpengaruh oleh model berfikir qiyas, karena ia pun menjelaskan prosedur qiyas yang menurutnya belum sempurna. Selanjutnya, gerak kedua adalah model logika deduktif, yaitu menarik hal yang umum sebagai hasil dari gerak pertama kepada hal-hal yang khusus yang sedang dihadapi masyarakat sekarang dengan mempertimbangkan kondisi objektif.
Syahrur, seorang ilmuwan sains berkebangsaan Syiria memiliki sebuah teori kontroversial yakni Teori Batas (The Theory Of Limit). Melalui teori ini, ia mencoba melakukan pembacaan ulang terhadap al-Qur’an. Syahrur memberikan interpretasi berbeda mengenai terma-terma penting dalam al-Qur’an yang kemudian membawanya untuk merumuskan teori hudud ini.
Implikasi dari konsep limitasi yang digunakan untuk memahami jinayah ini paling tidak pertama; akan memberikan ruang gerak dan kelonggaran bagi para yuris muslim serta praktisi hukum melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat hudud. Implikasi kedua; akan memberikan kesempatan kepada para yuris muslim dan praktisi hukum (Islam) untuk menetapkan kembali hukuman bagi pelaku pidana Islam (hudud), sesuai dengan kondisi obyektif yang ada serta ruang dan waktu yang menyertainya. Sehingga diharapkan rumusan-rumusan hukum pidana Islam ini lebih menedepankan aspek-aspek kemanusiaan, edukatif dan keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
http://teori ganda/Tugas-Online.htm
http://teori ganda/aplikasi-teori-double-movement-fazlur.html
http://teori ganda/pembaruan-interpretasi-fazlur-rahman_126.html
http://teori ganda/HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FAZLUR RAHMAN « Jeryronggo.htm
http://teori limitasi/gdl.php.htm
http://abuenadlir.blogspot.com/2010/02/teori-limit-m-syahrur-muhammad-abu.html
http:// teori limitasi/index.ph.htm
http://www.docstoc.com/docs/36656310/Arah-Baru-Metode-Pemikiran-Hukum-Islam

Hukum dan Masyarakat

PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri dan saling bergantung terhadap individu-individu yang lain dalam usaha melestarikan kehidupannya. Dalam hal ini, Aristoteles menyebutkan bahwa manusia adalah insan politik, yaitu manusia tidak hidup sendiri, bukan pula hanya merupakan bagian dari sebuah kelompok kecil, melainkan menjadi bagian dari suatu komunitas yang lebih besar, yaitu masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, perlu adanya suatu tatanan hukum untuk menciptakan hubungan-hubungan yang tetap, tertib dan teratur antar individu-individu dalam masyarakat tersebut. Dan yang lebih penting adalah bagaimana cara mengatur kegiatan dalam masyarakat untuk menentukan dan melaksanakan tujuan bersama.

PEMBAHASAN
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum dan masyarakat bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Di mana suatu masyarakat itu berada, maka di situlah hukum ditegakkan.
A. Pengertian
1. Hukum
Para ahli hukum berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian hukum. Hal ini disebabkan karena beragamnya sudut pandang yang diambil. Berikut pendapat beberapa para ahli hukum tersebut :
- Prof. Mr. E.M. Meyers dalam bukunya “De Algemene bergrippen van het Burgerlijk Recht”
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melaksanakan tugasnya.

- J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woejono Sastropranoto, S.H.
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan yang pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu hukuman tertentu.
- S.M. Amin, S.H.
Hukum merupakan kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dengan tujuan mewujudkan ketertiban dalam pergaulan manusia.
Dari beberapa pendapat para ahli sarjana hukum diatas maka dapat disimpulkan bahwa hukum adalah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, yang dibuat oleh pihak yang berwajib, bersifat memaksa dan terdapat sanksi tegas bagi siappa saja yang melanggarnya, yang bertujuan menciptakan kehidupan yang tertib, tentram dan nyaman.
2. Masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial, dimana ia tidak dapat hidup sendiri, akan tetapi bergantung kepada individu-individu lainnya. Hidup bersama atau hidup bermasyarakat adalah sedemikian penting bagi manusia, sehingga sikap kebersamaan tidak dapat dipisahkan untuk selamanya. Manusia dapat dikatakan utuh dan sempurna bila ia hidup bersama manusia lainnaya.
Seperti halnya pengertian hukum, terdapat beberapa pendapat pula tentang pengertian masyarakat :
a. Maclver dan Page dalam bukunya “Society, an Introductory Analysis”
Masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial. Dan masyarakat selalu berubah.
b. Koentjaraningrat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Maka dapat disimpulkan, bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama dalam jangka waktu yang lama, yang melakukan kerjasama melalui ikatan tertentu untuk menuju tujuan tertentu sehingga terciptanya suatu kebudayaan (adat istiadat).
B. Ruang Lingkup
1. Pembuatan Hukum
Di dalam hubungan dengan masyarakat di mana pembuatan hukum itu dilakukan, orang membedakan adanya beberapa model, sedangkan pembuatan hukumnya merupakan pencerminan model-model masyarakatnya. Chambliss dan Seidman (Law, Oreder. :17,56) membuat perbedaan antara dua model masyarakat.
Model yang pertama adalah masyarakat yang sedikit sekali mengenal konflik. Yang mana dalam hal ini berdirinya masyarakat bertumpu pada kesepakatan di antara para warganya. Maka pembuatan hukum dalam masyarakat seperti itu, merupakan pencerminan nilai-nilai yang disepakati oleh warga masyarakat.
Model yang kedua adalah masyarakat yang mempunyai ciri perubahan dan konflik-konflik sosial, bukan kemantapan dan kelestarian. Di sini, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat berada dalam konflik satu sama lain, sehingga keadaan ini juga akan tercermin dalam pembuatan hukumnya.
Seirng dengan perkembangan zaman, mengikuti pemolaan kehidupan sosial dewasa ini, maka pembuatan hukumnya harus berhadapan dengan masalah pengelolaan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dan bertentangan.
2. Bekerjanya Hukum di Bidang Pengadilan
Dilihat dalam kaitan sosialnya, maka setiap pengadilan itu merupakan respons terhadap susunan masyarakat yang menjadi landasannya. Pengadilan di sini dimaksud sebagai pranata penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu masyarakat.
Jika masyarakat tidak dapat menyelesaikan permasalahannya dengan mufakat, maka pengadilan bertindak dalam hal tersebut. Pengadilan menerima tugas-tugas yang harus diselesaikan yang datangnya dari masayarakat. Yang kemudian diolah menghasilkan suatu keputusan untuk masyarakat yang harus dipatuhi.
3. Pelaksana Hukum
Hukum bukan merupakan suatu hasil karya seni yang diciptakan untuk dinikmati oleh orang yang mengamatinya. Tetapi hukum diciptakan untuk dijalankan. Hukum ada, karena manusia hidup bersama-sama. Jika manusia hidup sendiri, ia tidak memerlukan hukum.
Dengan perkataan lain, hukum hanya dapat berjalan melalui manusia. Manusialah yang menciptakan hukum, dan manusialah yang menjalankan hukum tersebut, serta untuk kepentingan dan kelestarian hidup manusia pulalah hukum tersebut dijalankan.
4. Hukum dan Nilai-Nilai di dalam Masyarakat
Nilai-nilai dalam masyarakat merupakan bentukan masyarakat sebagai hasil interaksi antarwarga masyarakat, bukan bawaan dari lahir. Baik berupa cara berpikir atau bertindak yang berfungsi sebagai pemersatu masyarakat.
Dalam hal ini hukum sebagai kontrol sosial berfungsi untuk menindak tegas setiap pelanggaran terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hukum mencoba untuk menetapkan pola hubungan antar manusia dalam merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat.
C. Relasi antara Hukum dan Masyarakat
Setiap manusia memiliki sifat, watak, dan kehendak sendiri-sendiri. Namun di lain pihak, mereka perlu mengadakan hubungan kerjasama, tolong-menolong, dan bantu-membantu untuk memperoleh keperluan-keperluan mereka.
Sering kali keperluan-keperluan mereka searah dan sepadan, maka dalam melakukan kerjasama tujuan manusia untuk memenuhi keperluan tersebut dapat segera tercapai. Namun sering kali pula keperluan-keperluan mereka satu sama lain bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian dan perselisihan yang mengganggu keserasian hidup.
Jika ketidakseimbangannya hubungan antar individu tersebut dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perselisihan hingga perpecahan pada masyarakat. Oleh karena itu, dalam hal ini masyarakat membutuhkan sesuatu yang dapat mengatur dan mengikat setiap tingkah laku manusia serta perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya.
Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh berbagai lembaga secara bersama-sama, seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan sahamnya dalam menciptakan ketertiban itu . Dan salahsatu dari norma yang menciptakan ketertiban dalam masyarakat tersebut adalah hukum.
Dengan sadar atau tidak, manusia dipengaruhi oleh peraturan-peraturan hidup bersama yang mengekang hawa nafsu dan mengatur perhubungan manusia. Peraturan-peraturan hidup itu memberi ancer-ancer perbuatan mana yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus dihindari.
Jika pada kenyataannya, tingkah laku manusia tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan bersama, maka hukum bertindak memberikan sanksi terhadap pelanggarnya sebagai pemberian efek jera dan penyesalan untuk tidak mengulangi hal tersebut.
Setelah hukum itu ada, maka perlu adanya kesadaran hukum. Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan (Scholten, 1954: 166).
Dalam kesadaran hukum tersebut, perlu adanya sikap toleransi. Karena setiap manusia mempunyai hak, dan hak mereka dibatasi oleh hak orang lain. Dari sinilah ketertiban masyarakat akan tercipta, karena dalam keadaan sadar jika seseorang mengganggu hak orang lain dia akan menyadari bagaimana sakitnya jika haknya digangu oleh orang lain.
Menurut Sudikno Mertokusumo , di dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya hukum baru dipersoalkan apabila justru hukum tidak terjadi, apabila hukum tidak ada, atau kebatilan. Kalau segala sesuatu berjalan dengan tertib, maka tidak akan ada orang yang mempersoalkan tentang hukum. Baru kalau terjadinya pelanggaran, sengketa, bentrokan, maka dipersoalkan apa hukumnya, siapa yang berhak, siapa yang benar, dan sebagainya.
D. Contoh dalam Masyarakat Muslim Indonesia
Islam memerintahkan untuk mengatur masyarakat yang bersandar kepada hukum untuk memelihara adanya persamaan dan keharmonisan. Keanggotaan dalam keluarga berkaitan dengan keanggotaan dalam masyarakat, sebagai sebuah sistem sosial yang besar, menurut tatanan persaudaraan seagama.
Contoh kasus masalah hukum kewarisan dalam Islam. Setiap manusia pasti akan mati, dan secara langsung semua harta akan berpindah kepada ahli warisnya. Bagaimana masalah pembagian hak waris ini jika tanpa adanya hukum?
Jika dalam hal pembagian waris tersebut setiap individu mempunyai tujuan yang sama yaitu musyawarah mufakat, maka masalah pembagian waris tersebut akan cepat terselesaikan.
Namun, telah kita ketahui manusia memiliki sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri, yang selalu merasa tidak puas pada setiap yang ia peroleh. Pada saat keinginan masing-masing dipertahankan tanpa adanya musyawarah mufakat, perselisihan dan perpecahan antar anggota keluarga pasti akan terjadi.
Di sinilah letak pentingnya keberadaan hukum yang mengatur dalam masalah pembagian waris. Mau tidak mau setiap ahli waris harus mematuhi pada aturan yang telah ditentukan. Karena jika tidak dipatuhi, maka akan ada sanksi hukum yang mengikat. Begitu pun hukum akan bertindak tegas jika ada yang mengganggu hak bagian yang lain.
E. Penegakkan Hukum dalam Masyarakat
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia.
Indonesia merupakan negara hukum, dan para pahlawan terdahulu telah menginginkan bahwa Indonesia berdiri berdasarkan atas hukum. Dengan demikian, penegakkan hukum merupahan hal yang semestinya dilakukan di negara hukum.
Dalam hal ini, mesti adanya kesinambungan antara para penegak hukum dan masyarakat. Setiap petugas penegak hukum harus bersikap tegas dan konsekuen terhadap setiap pelanggaran hukum yang terjadi. Tegas dan konsekuen dalam arti tidak ragu-ragu menindak setiap pelanggaran kapan saja dan di mana saja. Karena dalam keadaan tersebut akan menimbulkan rasa aman dan tentram dalam diri masyarakat. Dan yang lebih penting lagi, para penegak hukum haruslah menjadi panutan masyarakat.
Masyarakat pun harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu. Maka program penyadaran, kampanye, pendidikan, apapun namanya, harus terus menerus digalakkan dengan metode yang partisipatif. Karena, adalah hak dari warganegara untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang tepat dan benar akan hal-hal yang penting dan berguna bagi kelangsungan hidupnya.

KESIMPULAN
Hukum adalah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, yang dibuat oleh pihak yang berwajib, bersifat memaksa dan terdapat sanksi tegas yang mengikat bagi pelanggarnya untuk terciptanya kehidupan yang tertib dan tentram.
Sedangkan masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama dalam jangka waktu yang lama, yang melakukan kerjasama melalui ikatan tertentu untuk menuju tujuan tertentu sehingga terciptanya suatu kebudayaan (adat istiadat).
Tanpa adanya hukum, hidup manusia tidak akan terarah. Karena tujuan hukum dalam mengatur tingkah laku manusia adalah untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Hal itu pun tidak terlepas dari adanya kesinambungan yang selaras antara penegak hukum yang dijadikan sebagai panutan, hukum tegas yang mengikat, dan masyarakat yang sadar akan pentingnya hukum dalam kelangsungan kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003
Budiyanto. Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2004
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1986
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat. Bandung : Angkasa. 1986
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2006
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007
http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/meningkatkan-kesadaran-hukum-masyarakat.html

http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf
http://herususetyo.multiply.com/journal/item/9